Jakarta, CNN Indonesia -- Hari Guru Nasional, 25 November, adalah momentum untuk menghiasi kegiatan sekolah dan kaitannya pada kinerja guru sendiri. Tatkala pemuda-pemudi bangsa ini banyak yang akhirnya memahami betul bahasa Indonesia karena adanya guru.
Bahasa merupakan lambang jati diri suatu bangsa. Indonesia juga memiliki bahasa jati dirinya, yakni bahasa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia mampu memberi ciri khas bagi bangsa kita dan membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Meski menjadi pembeda, keberadaan bahasa Indonesia dapat menjadi pemersatu dalam keanekaragaman bahasa di tanah air. Keberadaan bahasa saat ini juga ikut berbagi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern, baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Peranan Bahasa menjadi jembatan penting bagi negeri maupun luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bahasa yang merdeka tidak akan sampai tujuannya, bila tidak karena literasi. Buta huruf, kemampuan membaca, serta kepandaian menulis merupakan dasar dari kebutuhan umum literasi. Literasi sendiri terbagi atas enam dasar yaitu baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital.
Perkembangan teknologi dan akses internet yang mudah dijangkau, membuat keberadaan literasi digital sangat diperlukan dalam mempersiapkan kekokohan bangsa dalam arus teknologi dan informasi ini. Adapun pengembangan literasi ini sudah seharusnya menjadi bagian dalam pendidikan saat ini.
Pembekalan literasi ini tidak tersampaikan penuh dalam jenjang sekolah. Keberadaan literasi pada pendidikan Indonesia sendiri terbilang rendah. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukan Indeks Penmbangunan Manusia (IPM) di Indonesia masih tergolong rendah, yakni 14,6%.
Indeks ini tertinggal jauh dengan negara tetangga Malaysia dan Sinagapura, yang IPM-nya sebesar 28% dan 33%. IPM mengindikasikan keberadaan pembangunan manusia, yang dikaitkan juga dengan kehadiran pendidikan dalam keberlangsungan pembangunannya. Tertinggalnya Indonesia menjadi sebuah tamparan keras bahwa kemampuan negara saat dinilai belum siap dalam menghadapi kemajuan literasi yang berkembang yakni literasi.
Guru jadi pegiat literasi siswa Kesadaran dan pembekalan literasi ini dapat diberikan melalui jenjang pendidikan atau sekolah. Sebelum terjun lebih jauh lagi ke dalam literasi, keberadaan siswa saat ini harus dinaikkan pada keinginan minat bacanya. Keberadaan minat baca ini juga ikut mengindikasikan kemampuan bahasa Indonesia yang dimiliki oleh seorang siswa.
Namun, peningkatan minat baca ini terhambat oleh akses ke fasilitas pendidikan yang belum merata, serta minimnya kualitas sarana pendidikan. Indonesia sendiri menempati peringkat ke 60 dari 61 negara lainnya dalam hal literasi. Banyaknya anak yang putus sekolah, keberadaan sarana pendidikan yang tidak mendukung, juga panjangnya rantai birokrasi dalam dunia pendidikan, menjadi beberapa alasan umum pada pendidikan Indonesia saat ini.
Meski peringkat Indonesia atau indeksnya rendah dalam hal literasi, tidak menutup kemungkinan Indonesia untuk meningkatkan literasinya hingga akhirnya mampu membekalkan literasi secara luas. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui pegiat pendidikan atau guru. Sebagai seseorang yang bekerja dan menjadi role model atau figur teladan dalam lingkup pendidikan, tidak dapat diragukan lagi pengaruh besar yang dapat dibawa guru dalam meningkatkan keberadaan literasi ini.
Sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) bahwa untuk mencerdaskan bangsa dilakukan melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap masyarakat. Saat ini, Kemendikbud tengah melaksanakan pencanangan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di tingkat satuan pendidikan sudah mulai digalakkan.
GLS sendiri sebenarnya telah dielu-elukan sejak tahun 2015. Kerjasama tim Kemendikbud dan guru di sekolah menjadi faktor utama keberhasilan literasi ini.
Adapun GLS ini diawali dengan membentuk kebiasaan baik membaca pada siswa dengan memberikan waktu tersendiri untuk melakukan kegiatan membaca.
Kehadiran GLS ini memenuhi hak dan kewajiban pendidikan yang terangkum dalam lima ayat pada Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45). Ayat pertamanya menyebutkan bahwa setiap warganya berhak mendapatkan pendidikan.
Pendidikan dasar ditulis sebagai sebuah kewajiban dalam ayat keduanya. Hal ini mengindikasikan keberadaan hak dan kewajiban pendidikan perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat Indonesia, agar tercapainya kecerdasan bangsa seperti yang tertulis dalam pembukaan UUD 45.
Kewajiban belajar dan mengajar ini kemudian dibentuk ke dalam sebuah kurikulum yang sistematik. Keberadaan kurikulum ini membantu mengarahkan pelajaran dan target yang ingin dicapai.
Metode pembelajaran yang baru, yakni kurikulum 2013 juga mulai mengarahkan siswa sebagai subjek pembelajaran, sedangkan guru sebagai fasilitator. Penempatan ini membuat kegiatan literasi dalam sekolah tidak lagi berfokus pada peserta didiknya saja.
Kurikulum 2013 juga bermaksud membentuk pribadi siswa, dengan menggunakan literasi, yang dapat turun langsung menerima informasi atau pengetahuan, sehingga memungkinkan siswa lebih tahu dibandingkan sang guru. Peran guru sebagai fasilitator, harus dilaksanakan secara profesional dan berkualitas, karena guru merupakan figur teladan dalam literasi sekolah.
Konsep guru sebagai teladan ditemukan dalam trilogi kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara. Trilogi ini juga dapat dijadikan sebagai dasar memecahkan permasalahan atau hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan literasi di sekolah. Guru maupun pegiat pendidikan harus dapat berperan sebagai teladan (ing ngarsa sung tulada), sebagai motivator (ing madya mangun karsa), dan sebagai fasilitator dan kreator (tut wurihandayani).
Keberadaan guru dan kemampuannya saja tidaklah cukup. Diperlukan juga banyak bantuan dari masyarakat, sehingga dapat tercapai lingkungan yang mendorong gerakan literasi ini. Misalnya dalam bulan bahasa ini, tidak hanya siswa saja yang terus dibiasakan membaca, sebagai masyarakat yang baik, kita patut memberika contoh yang baik pula. Seperti memberi target membaca buku, berkarya dengan bahasa indonesia seperti menulis cerita pendek atau puisi.
Masyarakat perlu turun dalam membangun lingkungan yang mengajak literasi karena lingkungan siswa bermain dan bertemu nantinya adalah lingkungan masyarakat yang lebih luas dan beragam.
Memerdekakan bahasa Indonesia kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan oleh pegiat pendidikan atau guru semata tetapi juga oleh masyarakat sendiri. Begitu halnya dengan siapa yang mendapatkan pembelajaran literasi ini.
Pengetahuan bahasa maupun literasi sudah menjadi hak masyarakat tanpa memandang kalangan yang ada. Sudah sebaiknya kita, sebagai masyarakat Indonesia menyadari kebutuhan literasi untuk masa depan yang lebih baik dan kemerdekaan bahasa seutuhnya. Tak lupa juga berterima kasih sepenuhnya kepada para guru, yang tiada henti-hentinya memajukan kemerdekaan Indonesia melalui pendidikan.
(ded/ded)