Jakarta, CNN Indonesia --
Animal testing merupakan isu yang sudah berkembang lama di masyarakat.
Animal testing adalah pengujian suatu produk kosmetik terhadap hewan sebelum produk tersebut dijual ke pasaran.
Pengujian hewan tersebut dilakukan dengan dioleskannya suatu bahan kimia atau dipaksa untuk menghirup bahan kimia tertentu untuk melihat reaksi yang ditimbulkan dari bahan kimia tersebut.
Ada sekitar 100.000-200.000 binatang menderita dan mati tiap tahunnya di dunia akibat
animal testing. Di antaranya adalah kelinci, babi, marmut, hamster, dan tikus, seperti dikutip dari www.hsi.org.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa saja tujuan penggunaan hewan untuk pengujian produk kosmetik?
1. Untuk menguji apakah produk kosmetik tersebut memberikan alergi kepada kulit atau tidak. Caranya, zat uji dioleskan ke permukaan kulit atau disuntikkan di bawah kulit kelinci, atau dioleskan ke telinga tikus. Kulit binatang mungkin menunjukkan tanda-tanda kemerahan, pembengkakan, dan gatal.
2. Untuk menguji apakah produk kosmetik tersebut memberikan iritasi kepada kulit atau tidak. Caranya, zat uji ini diterapkan pada kulit kelinci yang bulunya telah dicukur. Kulit mereka akan menunjukkan tanda-tanda kemerahan, ruam, luka, pembengkakan, atau tanda kerusakan lainnya.
3. Untuk produk kosmetik di daerah mata apakah produk tersebut akan membuat iritasi mata atau tidak. Percobaan pada kelinci, matanya akan menunjukkan tanda-tanda kemerahan, pendarahan, kebutaan, atau tanda-tanda kerusakan lainnya.
Animal testing dianggap sebagai tindakan yang kejam karena banyak hewan yang setelah dilakukan pengujian. Hewan tersebut konon dibiarkan begitu saja tidak diberikan pengobatan. Yang terburuk, hewan tersebut dibiarkan kesakitan sampai akhirnya matia. Padahal hewan merupakan mahluk hidup yang sama dengan manusia dapat merasakan hal yang sakit.
Bagaimana
animal testing di Indonesia? Belum diketahui dengan jelas. Sedang di Eropa,
animal testing sudah ditolak dengan munculnya istilah 3R:
Reduce,
Refine dan
Replace. Sebaliknya di China, masih bisa.
Padahal terdapat banyak metode alternatif untuk melakukan pengujian suatu produk kosmetik selain
animal testing dan pastinya lebih murah dan lebih cepat untuk menghasilkan informasi lebih akurat. Contohnya meliputi kulit sintetis dan teknologi robot yang bisa menyaring ribuan bahan kimia sekaligus.
Untuk mendukung tidak menggunakan produk kosmetik yang masih menggunakan
animal testing, maka sebelum kita membeli kosmetik kita harus memperhatikan apakah sudah ada label
animal cruelty free,
no animal testing,
leaping bunny dan juga
vegan di kemasannya. Perbedaan dari label label tersebut adalah:
1.
Animal Cruelty FreeMasih terdapat produk kosmetik yang menggunakan bahan baku hewani, seperti asam laktat dari susu sapi. Jika bahan baku tersebut diperoleh tanpa menyakiti hewan, atau membunuh hewan tersebut maka produk tersebut tergolong
cruelty free.2.
No Animal TestingYang termasuk dalam label
no animal testing adalah produk kosmetik yang kandungannya mengandung bahan hewani tetapi tidak diujicobakan kepada hewan sama sekali.
3.
Leaping BunnyLabel ini secara resmi memastikan produk kosmetik tersebut tidak pernah dites pada hewan. Label ini berlaku internasional.
4.
VeganYang termasuk dalam label
vegan ini berarti bahan baku dan pengujiannya sama sekali tak melibatkan hewan. Produk kosmetik mengambil ekstrak tumbuhan.
Vegan tidak lepas juga dari bahan baku kimia sebagai pengganti bahan baku hewani. Tetapi semua bahan baku dan prosesnya dibuat tanpa melibatkan hewan.
Agita Ayudya
(ded/ded)