Jakarta, CNN Indonesia -- Dewasa ini, kita sudah sangat familiar dengan istilah kelas unggulan. Kelas ini menampung siswa-siswa pilihan yang dianggap memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari teman sebayanya.
Mereka dikelompokkan dalam satu lingkungan kelas tersendiri dengan tujuan untuk lebih mengembangkan potensi dan kemampuan intelektualnya. Tak jarang, kelas unggulan mendapatkan fasilitas yang lebih baik dan guru-guru yang lebih profesional dibanding kelas-kelas lain, tentu dengan biaya yang berbeda pula.
Namun, perlukah kelas unggulan diterapkan di negeri kita?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebenarnya, pro dan kontra kelas unggulan telah muncul sejak lama. Kalangan pro menilai bahwa anak-anak berbakat dan berotak cemerlang memang perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mengembangkan talenta dan kecerdasannya. Sebaliknya, kalangan kontra menganggap pengelompokan siswa yang homogen seperti itu akan menimbulkan lebih banyak dampak negatif daripada positif.
Terlepas dari pendapat mana yang lebih benar, sekolah yang menerapkan kelas unggulan perlu menimbang dan memikirkan matang-matang dampak yang akan menimpa siswanya secara keseluruhan. Contoh dampak positif yang diberikan mungkin berupa sejumlah lulusan dengan kualitas dan kecerdasan tinggi, yang sekaligus juga mengharumkan nama sekolah.
Namun, ada dampak negatif yang kemungkinan besar bisa terjadi. Seperti perbedaan kualitas pengajaran guru, hilangnya proses sosialisasi dengan lingkungan heterogen, dan timbulnya kesenjangan dan efek psikologis yang negatif.
Terkait kualitas guru, biasanya profesionalitas guru akan berbeda ketika mengajar di kelas unggulan dan kelas lainnya. Guru akan cenderung lebih bergairah dan bersemangat saat mengajar di kelas unggulan, karena didukung oleh suasana kelas yang positif dan kondusif. Guru tidak perlu bersusah payah mengajar kelas yang seluruh siswanya cerdas dan cepat menangkap materi dengan baik.
Sebaliknya, guru yang sama akan cenderung kurang bergairah dan masa bodoh ketika mengajar di kelas biasa. Umumnya, memang perlu kerja keras ekstra saat mengajar di kelas biasa.
Guru harus memberikan perhatian yang lebih pada tiap siswa dan mengandalkan banyak teknik-teknik pengajaran yang berbeda. Belum lagi tuntutan administratif yang menghabiskan banyak waktu, sehingga guru tidak bisa fokus mengajar dengan baik.
Akhirnya, siswa yang menjadi korban. Siswa kelas biasa akan merasa diremehkan dan dianggap sebelah mata karena tidak sepintar teman-temannya di kelas unggulan.
Kelas unggulan juga mengikis proses sosialisasi dengan lingkungan yang heterogen. Sekolah semestinya menjadi lingkungan percontohan tentang bagaimana sistem masyarakat yang akan dihadapi siswa di masa depan.
Siswa-siswa kelas unggulan akan kehilangan kesempatan bekerjasama dan bersosialisasi dengan teman-temannya yang dianggap kurang cerdas. Padahal, justru di sinilah letak transfer of knowledge yang efektif, sekaligus melatih interpersonal skill siswa-siswa tersebut. Toh, di dunia nyata kelak, mereka tidak akan dihadapkan pada masyarakat yang homogen, yang semuanya cerdas dan jenius. Rekan-rekan kerja dan lingkungan masyarakat yang akan mereka hadapi kelak tentu memiliki kemampuan yang berbeda.
Anak-anak kelas unggulan juga cenderung merasa eksklusif dan berpotensi menimbulkan sikap arogan. Stigma yang dibangun sekolah dan orangtua, menganggap kelas unggulan sangat istimewa dan suatu kebanggaan ketika anaknya bisa masuk ke kelas tersebut. Akhirnya, ketika berhasil masuk, mereka menganggap diri mereka adalah anak-anak yang terpilih di antara seluruh siswa di sekolah.
Sebaliknya, anak-anak kelas biasa akan ter-demotivasi dengan teman-teman mereka di kelas unggulan. Mereka akan merasa memiliki kemampuan yang lebih rendah. Demotivasi ini mengakibatkan turunnya semangat untuk berkompetisi. Anak-anak kelas biasa akan kehilangan kepercayaan dirinya ketika berhadapan dengan anak kelas unggulan. Akibatnya, mereka tidak lagi memiliki target yang tinggi. Istilahnya, jadi juara dua setelah kelas unggulan saja sudah luar biasa bagi mereka.
Sudah semestinya kita mulai menata sistem pendidikan kita menjadi lebih baik. Finlandia, dengan sistem pendidikannya, telah dianggap dunia internasional sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik.
Salah satu ciri utama di sekolah-sekolah Finlandia adalah tidak adanya sistem ranking, yang otomatis berarti tidak ada pengelompokan “anak bodoh” dan “anak pintar”. Setiap siswa memiliki potensi dan kecerdasannya masing-masing yang harus dikembangkan. Dan peran gurulah yang paling utama untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi tersebut.
Kita juga perlu mengingat kembali, bahwa peran guru dan sekolah bukan hanya sekadar memberikan pendidikan intelektual. Namun lebih dari itu, guru dan sekolah juga harus menumbuhkan kecerdasan hati dan spiritual. Jangan sampai generasi masa depan Indonesia adalah segelintir orang-orang yang berotak brilian, namun lemah di kecerdasan emosional, tidak memiliki kepekaan sosial, dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.
Satria Tradinatama
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
(ded/ded)