Pajak Atas Robot dan Otomatisasi

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 26 Jan 2018 11:36 WIB
Otomatisasi dan robot makin meminggirkan peran manusia sebagai tenaga kerja? Lantas apa solusinya?
Pembayaran tol dengan uang elektronik. (Foto: CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pada Oktober 2017 kebijakan transaksi non-tunai di seluruh gerbang tol di Indonesia mulai berlaku. Pemberlakuan transaksi non-tunai tersebut memaksa pengguna tol untuk bertransaksi menggunakan uang elektronik.

Selain itu, sekitar 4.364 petugas pengumpulan tol (berdasarkan Laporan Tahunan PT Jasa Marga Tahun 2016) juga merasakan dampak dari kebijakan tersebut. Karyawan yang biasa berjaga di gardu-gardu pembayaran tol digantikan oleh gerbang tol otomatis. Kebijakan tersebut merupakan salah satu contoh penerapan teknologi dalam otomatisasi suatu sektor bisnis.

Dewasa ini teknologi berkembang sangat pesat di seluruh lini kehidupan manusia. Perkembangan teknologi, khususnya robot dan kecerdasan buatan atau lebih dikenal dengan sebutan artificial intelligence, dapat dikatakan sebagai salah satu revolusi industri di zaman modern ini. Perusahaan terus melakukan efisiensi pada kegiatan usahanya dengan menggunakan teknologi terbaru. Penggunaan teknologi pada suatu bisnis dapat memberikan dampak positif, misalnya efisiensi biaya dari otomatisasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Boston Consulting Group dalam satu riset memperkirakan biaya tenaga kerja manusia lebih tinggi 15% dibanding menggunakan tenaga kerja robot. Oleh karena itu, tidak heran perusahaan lebih menyukai penggunaan teknologi seperti mesin dan robot untuk menggantikan peran tenaga kerja manusia.

Dampak negatif penggunaan teknologi ini juga tidak dapat dihindari seperti penggantian tenaga kerja manusia yang dapat berimbas pada masalah pengangguran di suatu negara. Chang dan Huynh (2016) dalam laporan yang dipublikasikan organisasi tenaga kerja internasional, ILO, menyatakan bahwa Indonesia memiliki risiko ancaman penggantian tenaga kerja manusia oleh tenaga kerja robot sebesar 56%.

Brynjolsson dan Mitchell (2017) dalam penelitiannya menyebutkan jika perkembangan teknologi berdampak pada tenaga kerja manusia dengan pekerjaan bersifat terstruktur dan repetitif. Sebagai contoh ialah penjaga gerbang tol, buruh pabrik, dan salesperson toko ritel.

Jika penggunaan teknologi seperti robot dan kecerdasan buatan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, tentu akan mempengaruhi tingkat pengangguran. Semakin tinggi tingkat pengangguran, pemerintah akan menghadapi banyak masalah lainnya seperti melambatnya ekonomi. Mau tidak mau, pemerintah harus membuat kebijakan untuk mengatur penggunaan teknologi seperti tenaga kerja robot.

Salah satu instrumen untuk mengatur hal tersebut ialah menggunakan kebijakan perpajakan. Kebijakan perpajakan atas teknologi seperti robot ini juga merupakan respon karena potensi pajak penghasilan dari tenaga kerja manusia juga akan tergerus dengan kehadiran mesin otomatis tersebut.

Abbott dan Bogenschneider (2017) berpendapat bahwa pemerintah harus bersikap “netral” antara pengenaan pajak atas penggunaan robot dan pajak penghasilan tenaga kerja manusia. Pajak atas robot dapat dianggap sebagai pengganti dari potensi pajak penghasilan yang hilang akibat robot. Alternatif lain yang ditawarkan keduanya ialah dengan memunculkan pajak atas “otomatisasi usaha”.

Sebelum tiba pada kedua alternatif tersebut, pemerintah perlu mendefinisikan pengertian teknologi yang dimaksud, seperti robot, artificial intelligence, dan otomatisasi, agar memberikan batasan dan perbedaan yang jelas dari pengertian sistem, mesin, aset tak berwujud, dan sebagainya. Setelah ada definisi yang jelas, persoalan selanjutnya adalah jenis otomasi yang mana yang akan dipajaki.

Pemerintah perlu menjadi penengah di antara dunia usaha dan pasar tenaga kerja. Dunia usaha terus menerapkan teknologi-teknologi terbaru seperti robot dan kecerdasan buatan. Hal tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat efisiensi dan persaingan di dunia usaha. Ancaman menjadi nyata bagi para tenaga kerja saat penerapan teknologi menggusur posisi pekerjaannya. Dengan kebijakan perpajakan seperti di atas, pemerintah berusaha memperlambat ancaman tersebut.

Namun kebijakan tersebut tidak dapat selamanya dilakukan pemerintah karena akan mempengaruhi banyak faktor lainnya seperti foreign direct investment ke dalam negeri. Oleh karena itu selain pemberlakuan pajak yang “membatasi”, di sisi lain pemerintah juga perlu mendukung kemajuan teknologi misalnya dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mengalihkan tenaga kerjanya—yang tergantikan mesin otomatis—ke divisi lain.

Di samping itu, pemerintah perlu membuat proyeksi yang melihat jauh ke depan atas sektor-sektor yang rentan terhadap disrupsi akibat teknologi dan merancang program alternatif jangka panjang misalnya program pengalihan tenaga kerja ke jenis profesi yang lebih aman dari ancaman teknologi maupun perancangan sistem pendidikan formal yang mampu mengarahkan bibit-bibit pelaku usaha maupun tenaga kerja ke bidang-bidang yang lebih prospektif.

Putri Indriana
Mahasiswa Diploma IV PKN STAN (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER