Jakarta, CNN Indonesia -- Kaum perempuan Indian di Amerika Serikat ada dalam lintasan sejarah yang kelam. Dari hasil data pengamatan terbaru, sebanyak 84 persen perempuan Indian di Amerika Serikat mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Kekerasan yang dimaksud berupa kekerasan secara seksual dan pembunuhan. Tidak hanya negeri serta kebudayaan mereka yang dijajah sejak zaman dahulu kala, tetapi di masa atau era yang modern seperti abad ke-21 ini, tubuh mereka dijadikan sasaran utama kekerasan.
Dilansir dari indiancountrymedianetwork.com, wanita Indian dibunuh lebih dari 10 kali rata-rata nasional, menurut Jaksa Agung A.S. Jenderal Thomas Perrelli, yang mempresentasikan statistik mengerikan tersebut saat menangani Komite Urusan Indian tentang Kekerasan terhadap Perempuan pada 2011.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh ini, belum ada data pasti yang menunjukkan berapa banyak perempuan Indian yang telah menghilang. Para perempuan tersebut yang dikabarkan menghilang cenderung tidak akan kembali lagi kepada keluarga mereka yang telah menanti di rumah hingga bertahun-tahun kemudian.
Contohnya dapat kita lihat pada seorang perempuan yang telah mengalami kejadian serupa, bernama Trudi Lee yang memiliki satu orang kakak perempuan. Pada tahun 1971 ketika berusia 7 tahun, kakak perempuannya, Janice Lee dikabarkan menghilang.
Janice berusia 15 tahun saat dia hilang di dekat tempat pengungsian Yakama di Washington. Meskipun orang tuanya melaporkan bahwa dia hilang dalam penegakan hukum kesukuan, tidak pernah ada kabar tentangnya. Ibunya sangat sedih ketika mengetahui bahwa anak perempuan sulungnya tersebut tidak akan pernah kembali lagi ke pangkuannya.
Trudi merasa cukup trauma dengan kejadian tersebut. Ia mengatakan bahwa ibunya sering sekali menangis sendirian, karena putri sulungnya sudah menghilang selamanya. Pada tahun 2001, ibu dari Trudi meninggal dunia, ia mengatakan, “Ibu meninggal di tahun 2001 tanpa mengetahui apa yang terjadi.” Ia menambahkan, “Kami masih memikirkan Janice dan paling tidak ingin menempatkannya di tempat pemakaman keluarga.”
Pada tahun 2016 lalu, Carmen O'Leary, koordinator Native Women's Society of the Great Plains di South Dakota, sebuah koalisi program Native yang memberikan layanan kepada wanita yang mengalami kekerasan menyatakan, “Hal tersebut terjadi sepanjang waktu di negara-negara yang didiami oleh suku Indian. Ketika para perempuan tersebut menghilang, mereka sangat mungkin mati.”
Meskipun organisasi seperti VAWA (Violence Against Women Act) dan TLOA (Tribal Law and Order Act) yang merupakan bentuk aksi perlindungan serta keadilan perempuan Indian di Amerika, yang disahkan secara langsung oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama pada tanggal 29 Juli 2010 telah membantu memperhatikan tingkat kekerasan yang tinggi ini dan mulai mengatasi kesenjangan dalam penegakan hukum untuk suku dan otoritas federal, tidak ada pengumpulan data yang komprehensif mengenai jumlah wanita hilang dan terbunuh di negara-negara yang didiami suku Indian.
Menurut sebuah studi yang berada di bawah VAWA pada tahun 2005, ditemukan bahwa antara tahun 1979 dan 1992, pembunuhan merupakan penyebab utama ketiga dari kematian antara perempuan Indian berusia 15-34, dan bahwa 75 persen dibunuh oleh anggota keluarga atau kenalan.
Di negara-negara yang didiami suku Indian, kasus mengenai hilangnya atau terbunuhnya perempuan Indian Amerika tidak diliput dan diberitakan oleh media setempat. Kasus-kasus tersebut cenderung dilupakan.
Sarah Deer, seorang profesor hukum di William Mitchell College of Law yang memiliki pengalaman kerja yang luas dalam mengakhiri kekerasan terhadap wanita Indian, menggambarkan kurangnya data dan perhatian terhadap wanita Indian yang hilang dan terbunuh sebagai persekongkolan ketidakpedulian AS, pemerintah dan penegak hukum. "Jika kami memiliki dana untuk mencari dan menilai data kami, saya pikir kami akan menemukan bahwa kami di AS memiliki jumlah yang sama persis dengan Kanada dalam hal perempuan yang hilang dan terbunuh," katanya.
Oleh karena itu, seluruh masyrakat internasional diingatkan kembali akan para perempuan Indian yang memiliki keadaan yang cukup memperihatinkan. Kasus seperti ini harus dihentikan secepatnya, baik oleh kepolisian dan pemerintahan Amerika Serikat, maupun oleh organisasi-organisasi terkait.
Jika tidak dihentikan, angka kematian perempuan Indian Amerika semakin tinggi, sehingga banyak perempuan tak bersalah yang terbunuh dan meninggalkan duka yang sangat mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan.
Kampanye #notinvisibleDalam rangka meningkatkan rasa awareness masyarakat internasional mengenai banyak hilang dan terbunuhnya para perempuan Indian di Amerika, dimulailah kampanye ini di media sosial, terutama Instagram yang ditandai dengan sejumlah orang memposting foto mereka dengan hashtag notinvisible untuk mempopulerkan kampanye ini, sejak akhir November 2017.
Kampanye ini diluncurkan oleh Senator dari North Dakota Heidi Heitkamp, untuk memperkenalkan rancangan legislasi yang disebut Undang-Undang Savanna. Heitkamp dan sejumlah figur publik meminta pendukung dan pengikutnya menggunakan tagar itu di media sosial untuk meningkatkan perhatian pada Native American Heritage Month dan meningkatkan kepedulian pada Missing and Murdered Indigenous Women and Girls (MMIWG).
Kampanye ini memiliki tujuan utama agar masyarakat semakin waspada dan dapat meningkatkan upaya untuk melindungi, serta menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi keluarga Indian, terutama bagi kaum perempuan yang ada di sekitarnya. Sehingga, kasus-kasus mengenai hal tersebut dapat pula segera ditangani oleh pihak-pihak yang berwajib secepatnya.
Sebab para perempuan Indian harus dilindungi martabat, serta harga dirinya. Beberapa figur publik yang ikut kampanye ini adalah: Rosario Dawson (38) dan Eric Balfour (40). Salah satu selebriti Hollywood pemeran ‘Hulk’ dalam film Avengers produksi Marvel, Mark Ruff
(ded/ded)