Pengamat ekonomi pertanian dan pangan dari Megawati Institute, Dwi Andreas Sentosa memperkirakan total jumlah impor beras pada tahun 2014, bisa mencapai 1,5 juta ton. Angka ini melambung tiga kali lipat dari impor pada periode Juli-Agustus tahun yang sama sebesar 500 ribu ton.
“Impor ini belum final, hitungannya bisa tembus 1 juta ton, bahkan 1,5 juta ton,” ujar Dwi kepada CNN Indonesia, Sabtu (9/8/14).
Perkiraan itu, kata Dwi, karena data produksi padi 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tercatat mengalami penurunan sebesar 1,98 persen akibat adanya banjir di awal tahun dan kekeringan di pertengahan tahun 2014. Menurut data Badan Pusat Logistik (BPS), sepanjang semester awal tahun 2014 produksi beras nasional hanya sebesar 1,9 juta ton. Diperkirakan, hingga akhir tahun pengadaan beras tidak akan mencapai 3,2 juta ton seperti yang ditetapkan tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun demikian, Dwi menekankan data tersebut perlu dipastikan kebenarannya. Pasalnya, Dwi kerap menerima keluhan dari pelaku usaha pertanian bahwa data yang tercantum dalam BPS tidak sesuai dengan kenyataan. “Untuk masalah data kita amburadul. Kita kan tahu, bukan hanya data beras, data bawang, cabai dan lainnya juga berantakan,” tegas Dwi.
Dampak impor beras, menurut Dwi, dapat menggangu pasar beras nasional. Pasalnya, harga beras impor im jauh lebih rendah ketimbang beras lokal. “Selama ini yang menyelamatkan petani ya harga beras lokal sangat bagus. Jangan sampai bersaing dengan beras impor,” pungkas Dwi.
Untuk mengimpor 50 ribu ton beras dari Vietnam, Bulog menyiapkan dana sekitar Rp 300 miliar dengan perhitungan harga beras Vietnam sekitar Rp 6 ribu/kg. Jika impor beras sampai 1,5 juta ton hingga akhir tahun, dana yang dibutuhkan sekitar tiga kali lipat dari sebelumnya.