Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden terpilih Joko Widodo menghadapi situasi yang sulit di awal pemerintahannya nanti. Defisit anggaran dan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menjadi persoalan yang menghadang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya pun pernah menghadapi tekanan yang kurang lebih serupa di awal pemerintahannya tahun 2004. Tapi apakah situasinya benar-benar bak pinang dibelah dua?
Ekonom Universitas Indonesia Ari A. Perdana mengatakan situasi di awal era SBY sebetulnya lebih baik. Saat itu harga komoditas tinggi, upah tenaga kerja murah, dan kebijakan moneter Amerika Serikat masih longgar.
"Sekarang faktor-faktor itu berakhir,” kata Ari, di Jakarta, selasa (2/9).
Meski demikian, ujar Ari, pada 2004 itu transisi pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada pemerintahan SBY tak berjalan baik. Pada 2004 Indonesia baru keluar dari krisis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
SBY pun harus melunasi utang kepada dana moneter internasional (IMF). Pemerintahan juga harus melewati masa transisi demokrasi dan desentralisasi.
Tapi saat itu perekonomian global dalam tren baik. Sebaliknya, pada masa pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi sedang berada di jalan menurun. Nilai tukar rupiah masih lemah dan menipisnya cadangan minyak sehingga Indonesia harus menjadi pengimpor yang besar.
Adapun analis Bank Danamon Dian Ayu Yustina mengatakan masa transisi dari Megawati ke SBY dan dari SBY ke Jokowi sebetulnya sama-sama berada di bawah tekanan.
Saat Megawati berkuasa sebetulnya ada krisis ekonomi juga. Saat itu rupiah dan kondisi fiskal negara tertekan. Bahkan, ”Kondisinya darurat sehingga Megawati terpaksa menjual aset," kata Dian.
Aset yang dimaksud adalah saham PT Indosat. Pada 2002, Megawati menjualnya kepada Temasek.
Dian menambahkan, krisis yang terjadi era pemerintahan Megawati juga dipicu oleh harga minyak yang melambung dan krisis subprime mortgage yang menekan.
Bila dibandingkan dengan transisi pemerintahan SBY ke Jokowi, menurut Dian kondisi fundamental Indonesia relatif stabil. Namun, potensi tekanan eksternal tidak terhindari.
"Ekonomi global masih lambat. Jadi masalah utama kita current account deficit," ujar Dian mengomentari kondisi perekonomian saat ini.
Pemerintah sekarang, menurut Dian, tertekan oleh harga komoditas yang rendah. Sehingga tingkat ekspor tidak setinggi pada masa Megawati. Pada masa pemerintahan Megawati defisit transaksi berjalan belum terjadi karena harga komoditas yang tinggi pada periode tersebut.
Akan tetapi defisit tidak melulu sesuatu yang negatif. Dian menjelaskan defisit yang terjadi pada masa SBY merupakan petunjuk perekonomian Indonesia yang bertumbuh.