Jakarta, CNN Indonesia -- Saat tampuk kekuasaan berpindah dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Joko Widodo pada Oktober nanti, anggaran pendapatan dan belanja negara dalam kondisi defisit.
Ekonom Universitas Indonesia Ari A. Perdana mengatakan defisit APBN yang harus dihadapi Jokowi sebesar 2,4 persen tahun ini dan 2,3 persen pada 2015. Itu memang masih aman karena berada di bawah ketentuan tiga persen terhadap PDB.
"Defisit ini masih lebih kecil dibandingkan Brazil dan Turki," ucap Ari, di Jakarta, selasa (2/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jokowi, kata Ari, harus mengurangi utang luar negeri karena likuiditas ke depan juga akan semakin ketat. Sementara untuk membiayai pembangunan, banyak lembaga keuangan di tanah air yang bisa didorong untuk membiayai. Pemerintah cukup menerbitkan surat utang.
Subsidi energi harus dikurangi karena selama ini telah membuat masyarakat menjadi boros energi. Pemerintah sejatinya mulai memikirkan penyediaan sumber energi alternatif dan menyediakan transportasi publik yang memadai.
Ari menilai, sebetulnya pemerintah juga bisa mengutak atik APBN yang defisit dengan mengurangi anggaran rutin kementerian. Namun, beberapa pos anggaran tak bisa diubah misalnya untuk pendidikan dan transfer ke daerah.
Andi Widjayanto, Deputi Tim Transisi, mengatakan untuk mengoptimalisasi berjalannya program, pemerintahan Jokowi menimbang untuk mengotak-atik kementerian. Jokowi memang tetap mempertahankan 34 kementerian seperti era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebanyak 19 di antaranya merupakan kementerian lama, tapi ada 15 kementerian baru dan modifikasi.
"Yang terbaru ada Kementerian ekonomi kreatif, agraria dan kependudukan. Cuma ini masih digodok sampai 20 Oktober mendatang," ujar Andi.
Efektifkah otak-atik itu? Ari bilang itu tidak memberikan arti signifikan bagi penghematan anggaran. Sebab, faktor terbesar anggaran kementerian adalah gaji pegawai negeri sipil (PNS). "Dan PNS tidak bisa langsung dipecat kan?," tuturnya.
Pengamat dari Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, berpikir sebaliknya. Anggaran kementerian atau lembaga memiliki tiga komponen yakni belanja rutin, belanja barang, dan belanja modal. Menurut Lana, belanja barang bisa dikurangi sementara belanja modal ditambah.
"Karena apabila belanja modal ditambah, itu bisa menciptakan multiplier effect yaitu penciptaan lapangan kerja," ujar Lana.
Wacana penghilangan jabatan wakil menteri dinilai Lana akan lebih efektif menghemat anggaran. Menurutnya, kabinet SBY periode pertama terbukti dapat berjalan lebih baik dibanding periode dua tanpa adanya jabatan wamen.
Analis Bank Danamon Dian Ayu Yustina sepakat bahwa otak-atik kabinet dapat mengefisiensi pengeluaran kementerian dan menghemat anggaran negara. “Perampingan kementerian menjadi salah satu sumber realokasi untuk program-program Jokowi," kata Dian, seraya mengatakan Jokowi akan terdorong untuk mengisi posisi menteri dengan orang-orang yang kompeten dan profesional. Apabila ini terjadi, menurutnya jabatan wakil menteri tidak diperlukan lagi.