Jakarta, CNN Indonesia -- Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Indonesia AirAsia (anak usaha AirAsia Berhad Malaysia) sebagai perusahaan publik di industri penerbangan sangat mencerminkan kondisi terpuruknya maskapai nasional saat ini.
Sepanjang semester I 2014, Garuda memang mengalami peningkatan pendapatan dari US$ 1,73 miliar pada semester I 2013 menjadi US$ 1,74 miliar di semester I 2014. Naiknya jumlah penumpang karena perseroan berhasil menerbangkan 10,02 juta penumpang dibandingkan 9,27 juta penumpang di semester I 2013.
Namun, naiknya pendapatan yang tipis tersebut menjadi tidak berarti karena tergerus biaya operasional yang jauh lebih besar. Beban usaha perseroan naik 14,75 persen menjadi US$ 1,9 miliar dari sebelumnya US$ 1,7 miliar. Beban operasional penerbangan mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan beban yang lain. Sehingga mengakibatkan Garuda menderita rugi US$ 211,7 juta atau sekitar Rp 2,43 triliun. Jauh lebih besar dibandingkan kerugian periode yang sama di 2013 sebesar US$ 10,92 juta atau sekitar Rp 125,58 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahan bakar menyumbang 30-40 persen biaya operasional kami. Sementara harganya terus meningkat dan kami membelinya dengan dolar," ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar.
Begitu perkasanya dolar di hadapan rupiah dalam beberapa tahun belakangan memang menjadi momok menakutkan bagi maskapai Indonesia. Sunu Widyatmoko, Presiden Direktur PT Indonesia AirAsia menyebutkan biaya pembelian bahan bakar menyumbang 50 persen dari total biaya operasional perseroan. "Beban lainnya yang cukup besar itu untuk membayar sewa pesawat sekitar 20 persen dan biaya perawatan 10 persen. Semuanya dibayar dengan dolar," kata Sunu.
Pada kuartal II 2014 Indonesia AirAsia membukukan pendapatan Rp 1,5 miliar naik 8 persen dibandingkan pendapatan kuartal II 2013 yang sebesar Rp 1,39 miliar. Namun setelah dikurangi biaya operasional, maskapai yang identik dengan penerbangan murah tersebut merugi Rp 340,3 miliar dibandingkan perolehan laba bersih Rp 51,7 miliar di kuartal II 2013.
Namun, kerugian yang dialami Garuda dan Indonesia AirAsia juga terjadi pada sejumlah maskapai besar lain di kawasan Asia Pasifik. Association of Asia Pacific Airlines (AAPA) melansir kecenderungan penurunan keuntungan maskapai Asia Pasifik terjadi bukan hanya akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan harga bahan bakar, tetapi juga akibat ketatnya persaingan antar maskapai.
Data AAPA menyebutkan hanya Singapore Airlines yang masih membukukan laba bersih sampai semester I 2014, meskipun jumlahnya turun menjadi hanya US$ 28 juta. Sementara Qantas Airways rugi AU$ 2,8 miliar, Thai Airways rugi US$ 236 juta, Malaysia Airlines rugi US$ 95 juta dolar, dan Jetstar mencatat kerugian sebesar AU$ 116 juta atau setara US$ 109 juta dolar.