Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara menjelaskan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan di Indonesia sudah dilakukan sejak 2005. Menurut Tirta pengawasan tersebut sudah dilakukan sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terpisah dengan BI.
"BI sudah lama mencium risiko konglomerasi keuangan. Namun implementasinya baru bisa dijalankan secara fokus oleh OJK yang mendapat kewenangan penuh untuk mengawasi perusahaan-perusahaan tersebut," kata Tirta, Jumat (26/9).
Tirta menambahkan, bank sentral tidak hanya mengawasi konglomerasi yang ada di industri keuangan namun juga mengawasi konglomerasi pada sektor industri yang lain. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan kebijakan sektoral untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"BI pernah mengeluarkan aturan
loan to value khusus untuk industri properti dan otomotif, itu juga dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan," ujarnya.
OJK menyatakan akan mengawasi kegiatan bisnis dari perusahaan jasa keuangan yang memiliki unit bisnis atau anak usaha di bawahnya. Sekarang ini suatu perusahaan jasa keuangan tidak hanya memiliki bank, tetapi juga perusahaan asuransi, sampai perusahaan sekuritas. Ada yang seluruhnya bergerak di sektor keuangan, tetapi ada juga konglomerasi yang entitas utamanya justru bergerak di sektor lain.
Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan OJK, sebanyak 70 persen perusahaan jasa keuangan yang ada di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi keuangan. OJK mencatat ada 31 konglomerasi keuangan yang sebagian besar berasal dari industri perbankan.
Beberapa nama konglomerasi atau grup besar dalam daftar OJK antara lain Mandiri, BNI, BRI, Bukopin, Danamon, BII, Citibank, Panin, Permata, BCA, Sinar Mas, CIMB Niaga, HSBC, OCBC, Commonwealth, Sumitomo, RBS, Bank of America, JP Morgan, dan MNC.