Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi berharap pemerintahan mendatang dapat memanfaatkan fasilitas
Generalised System of Preference (GSP) yang diberikan Amerika Serikat paska kesepakatan menutup sengketa kasus rokok.
GSP merupakan skema yang meliputi produk industri dan pertanian dari negara berkembang yang diberikan akses khusus untuk masuk ke pasar negara maju.
Menurut Bayu, Indonesia sudah tidak lagi menerima fasilitas GSP dari AS sejak 2012. Untuk itu, pemerintah harus bisa mengoptimalkan fasilitas yang diberikan sebagai kompensasi kesediaan Indonesia menutup sengketa kasus rokok. “Produk potensial yang bisa diusulkan untuk diekspor ke Amerika Serikat itu karet, benang, dan baja. Terakhir kita mengekspor kesana nilainya itu sekitar US$ 55 juta, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya mengekspor rokok kretek,” ujar Bayu, Kamis (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia terakhir mengekspor rokok kretek ke Amerika Serikat pada 2009 dengan nilai hanya US$ 7,5 juta.
Sebelumnya Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menjelaskan, pemerintah Indonesia dan Amerika telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) untuk menutup sengketa rokok kretek dengan beberapa poin kesepakatan.
Pertama, Pemerintah Amerika Serikat akan memberikan tambahan fasilitas GSP yang melebihi nilai batas tertentu selama lima tahun berikutnya dan akan mempertimbangkan permintaan atas produk ekspor lainnya dari Indonesia.
Kedua, Pemerintah Amerika Serikat berjanji dan sepakat untuk tidak mengadukan kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan mineral yang diterapkan Indonesia ke arbitrase internasional. Amerika Serikat memperbolehkan impor produk cigars dan cigarillos buatan Indonesia ke pasar Amerika Serikat sampai ada pengaturan lebih lanjut yang tidak akan bersifat arbitrary atau diskriminatif membeda-bedakan produk sehingga merugikan.
Ketiga, Pemerintah Amerika Serikat akan membantu Indonesia untuk memperbaiki penegakan hak kekayaan intelektual (HKI) agar Indonesia mendapatkan status lebih baik dalam hal penegakan HKI.
Sesuai kesepakatan tersebut, Indonesia setuju untuk tidak lagi mempermasalahkan kebijakan larangan impor rokok beraroma yang ditetapkan sesuai Undang-Undang Kesehatan yang disahkan pada era Presiden Barack Obama. Sebab, jika Indonesia kembali mengungkitnya, maka parlemen Amerika Serikat akan mewajibkan revisi atas Undang-Undang tersebut yang biayanya jauh lebih besar dibandingkan memberikan fasilitas GSP tersebut.
Elvira Lianita, Head of Regulatory Affairs, International Trade and Communication PT HM Sampoerna Tbk mengaku tidak ada masalah jika Amerika Serikat tetap tidak membuka keran impor untuk produk rokok kretek. “Saat ini kami tidak memproduksi cigars dan cigarillos. Tetapi Sampoerna mengekspor rokok ke 39 negara, dan rokok kretek kami terus meningkat permintaannya di India dan Hong Kong, jadi tidak ada masalah,” ujar Elvira.
Badan Pusat Statistik mencatat dalam lima tahun terakhir nilai ekspor produk tembakau meningkat 56 persen menjadi US$ 931 juta sepanjang 2013 dibandingkan US$ 596 juta pada 2009.