Jakarta, CNN Indonesia --
Direktur Utama PT PLN Nur Pamudji menyesalkan sikap Bank Dunia (World Bank) dan Asian Development Bank (ADB) yang tak lagi mau mendanai proyek pembangkit listrik berbahan baku batubara (PLTU). Pemerintah Amerika Serikat dianggap lebih mementingkan teknologi gas turbin yang menjadi basis bisnis pembangkitnya."Mereka tidak lagi menggunakan boiler batubara karena sekarang sedang jualan gas turbin. Kalau alasan polusi, yang saya tahu sudah ada teknologi untuk mengurangi dampak itu," ujar Nur Pamudji di Jakarta, Selasa (14/10).Sebagai pengingat, beberapa tahun lalu PLN pernah mengajukan pinjaman kepada World Bank dan ADB sebesar US$ 700 juta untuk membangun sejumlah pembangkit guna mencapai target program percepatan atau fast track tahap II (FTP) dengan total kapasitas mencapai 10.000 megawatt. Lantaran memiliki rasio utang diatas 1,5 kali yang melebihi persyaratan, kedua bank menolak untuk memberi pinjaman. Padahal pada 2013 PLN sudah diberi tambahan dana subsidi sebesar Rp 5,4 triliun dari Pemerintah agar rasio utang perseroan bisa dibawah 1,5 kali. "Tetap saja (tidak dikasih). Padahal kenaikan kebutuhan energi kita naik 5 persenan per tahun," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proyek percepatan pembangkit listrik dianggap molor dari yang dijadwalkan. Saat ini, hanya satu proyek yang sudah dibangun yakni Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dengan kapasitas 55 mw dari target kapasitas terpasang mencapai 10.000 mw. "Tapi tidak bisa diserahkan semuanya ke swata karena mereka juga sulit dalam pendanaan. Ada kendala lain seperti harga jual listrik yang rendah, penggunaan teknologi hingga nilai tukar yang buat grogi investor energi," tuturnya.Kendala di CBMSelain masalah diatas, sejumlah hambatan juga menyelimuti kegiatan ekplorasi khususnya sektor gas metan batubara (CBM) di Indonesia. Pemilik mayoritas saham PT Medco Energi Internasional Tbk, Arifin Panigoro mengungkapkan, buruknya koordinasi di level Kementerian dan Lembaga menyebabkan banyak perizinan CBM tertunda. Apalagi, proses akuisisi lahan juga sulit dilakukan."Soalnya CBM itu butuh lahan yang luas. Sulit sekali itu urus pembebesan lahan," cetus Arifin kepada CNN Indonesia, (14/10).Kedepan, Arifin bilang, pemerintah baru harus mampu menyederhanakan proses perizinan dan masalah pembebasan lahan. Ini dimaksudkan agar proyek-proyek di sektor energi bisa berjalan sesuai dengan target. "Bukan cuma Medco ya. Proyek CBM perusahaan lain juga telat karena masalah-masalah ini," pungkasnya.