Jakarta, CNN Indonesia -- Penurunan harga minyak dunia hingga ke level terendah dalam empat tahun terakhir, bukan menjadi alasan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menunda kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, jika Jokowi melanggar komitmen tersebut, maka pelaku pasar bisa semakin kehilangan kepercayaan terhadap Indonesia.
Pada perdagangan Kamis (16/10), minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November turun menjadi US$ 81,78 per barel di New York Mercantile Exchange. Harga terendah sejak Juni 2012. Sedangkan harga minyak mentah Brent untuk pengiriman November turun US$ 83,78 per barel di perdagangan London. Menurunnya harga minyak dunia dipicu oleh kian melemahnya ekonomi sejumlah negara maju. Sementara, produksi minyak masih terus meningkat.
Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menilai dengan penurunan harga minyak mentah tersebut, maka harga keekonomian BBM jenis premium hanya sebesar Rp 9.000 per liter. Perhitungan itu berdasarkan prediksi jika harga minyak dunia tetap di bawah US$ 90 per barel. Sehingga, kenaikan BBM yang perlu dilakukan Jokowi tahun ini hanya sebesar Rp 2.000 per liter. "Ini momentum Jokowi untuk memanfaatkan spread hanya Rp 500 per liter untuk menanggung subsidi BBM," kata Leo, Kamis (16/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, penasihat senior Jokowi-JK, Luhut Binsar Panjaitan menyatakan pemerintahan baru siap menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter pada November mendatang. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pada banyak kesempatan memastikan kenaikan harga BBM akan dilakukan secepatnya pada masa awal pemerintahan.
Namun, berdasarkan penurunan harga minyak dunia ke level terendahnya dan masih diperkirakan turun terus, Leo menganggap kenaikan harga BBM tetap diperlukan karena jika suatu saat harga minyak dunia naik, anggaran pemerintah tidak terbebani terlalu dalam seperti sekarang. "Ini bisa membuat defisit anggaran lebih kecil," ujarnya.
Sementara, jika kebijakan tersebut ditunda hingga tahun depan, maka alokasi anggaran Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 5 triliun tahun ini akan hangus. "Kan sudah dianggarkan BLT Rp 5 triliun tahun ini dan Rp 5 triliun tahun depan, jadi kalau batal dinaikkan ya bisa hangus," kata Leo.
Peneliti sekaligus Participatory Governance Assessment Manager UNDP Indonesia Abdul Wahid mengatakan, jika harga premium dan solar dinaikkan Rp 3.000 per liter, maka penghematan anggaran bisa mencapai Rp 140 triliun. "Ini satu putusan yang berani dan harus segera dilakukan pikir saya. Selama ini kan pemberian subsidi BBM lebih dikarenakan kepentingan politik," tuturnya.