Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah yang akan mengurangi produksi dan ekspor timah sebesar 50 persen tahun depan dinilai bukan solusi yang tepat untuk menaikkan harga. Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) menilai, kebijakan tersebut akan sia-sia jika pemerintah tidak mengambil tindakan yang tegas atas kegiatan ekspor timah ilegal yang masih marak terjadi belakangan ini.
Jabin Sufianto, Ketua Umum AETI mengatakan rencana Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan membatasi produksi dan ekspor timah menjadi 35 ribu ton sampai 40 ribu ton tahun depan memang bisa menaikkan harga timah seperti yang diinginkan pemerintah. "Tetapi kalau masih banyak ekspor timah ilegal, sama juga percuma. Karena itu yang harus dilakukan pemerintah adalah menindak tegas pelaku ekspor ilegal," kata Jabin, di Jakarta, Kamis (16/10).
Jabin mengungkapkan, praktek ekspor ilegal banyak dilakukan perusahaan-perusahaan lokal di Pulau Bangka. Dia memperkirakan sebanyak 300 ribu ton timah di jual keluar negeri secara ilegal dalam 10 tahun terakhir dan menyebabkan negara kehilangan devisa hasil ekspor sekitar Rp 50 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal senada diungkapkan Fenny Widjaja, Komisaris Utama PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI). Menurut Fenny, sebaiknya pemerintah menyerahkan urusan stabilisasi harga timah melalui perusahaannya dan lebih mengurusi masalah penegakan peraturan dan hukum yang berlaku. Sehingga perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan benar, tidak terus menerus dibuat bingung dengan perubahan-perubahan kebijakan terkait ekspor timah.
Fenny menjelaskan fluktuasi harga timah yang stabil itu bergerak di angka 2-3 persen disesuaikan antara pasokan dengan kebutuhan normal. "Kalau dalam nominal harga US$ 20.400 sampai US$ 23.800 per metrik ton itu ideal. Sebelum BKDI dibentuk, harga Timah itu fluktuasinya sampai 30 persen karena terlalu banyak spekulan yang bermain. Jadi percayakan saja ke kami untuk mengontrol harga, karena saat ini London Metal Exchange dan the Kuala Lumpur Tin Market (KLTM) juga sudah menjadikan harga BKDI sebagai acuan," ujar Fenny.
Fenny mengatakan BKDI saat ini memiliki anggota sebanyak 42 perusahaan yang aktif menjual dan membeli timah. Terdiri dari 22 perusahaan penjual dan 20 perusahaan pembeli. Ditambahkannya, ekspor timah asal Indonesia sebanyak 90 ribu ton per tahun memberi kontribusi 25 persen terhadap total kebutuhan timah dunia sebanyak 360 ribu ton per tahun. "Jadi Indonesia ini sudah dari dulu memegang peranan penting terhadap pasokan timah dunia," kata Fenny.
Insmerda Lebang, Komisaris Utama PT Timah Tbk (TINS) mengatakan pemerintah seharusnya memperbaiki peraturan-peraturan terkait ketentuan ekspor timah yang dinilainya masih lemah dan membuka peluang bagi pelaku ekspor ilegal dalam menjalankan usahanya. Lebang menyoroti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 tahun 2014 tentang Ketentuan Ekspor Timah yang mulai berlaku 1 November 2014.
Menurut Lebang, ada sejumlah pasal dalam peraturan tersebut yang berpotensi meningkatkan praktek ekspor timah ilegal. Dalam aturan terbaru, timah digolongkan menjadi empat jenis. Pertama timah murni batangan dengan kandungan stannum (Sn) minimal 99,9 persen. Kedua, timah murni bukan batangan dengan kandungan Sn paling rendah 99,93 persen. Ketiga, timah solder dengan kandungan Sn paling tinggi 99,7 persen, terakhir, timah bukan solder dengan kandungan Sn maksimal 96 persen.
Perusahaan yang ingin mengekspor timah murni batangan harus mengantongi izin eksportir terbatas Timah Murni Batangan dan wajib melakukan ekspor melalui BKDI. Sedangkan untuk ekspor produk timah murni bukan batangan, timah solder, serta timah paduan bukan solder harus memiliki izin eksportir terbatas Timah Industri dan boleh diekspor tanpa melalui BKDI.
"Pada prakteknya ada, perusahaan timah murni dengan kandungan 99,9 persen mengekspornya dalam bentuk keramik dan di negara tujuan ekspornya di lebur lagi menjadi timah batangan. Tujuannya supaya bisa mengekspor dengan harga tinggi, tetapi tidak harus melalui BKDI. Ini ilegal," ujar Lebang.
Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan yang baru tidak mewajibkan disertakannya dokumen
clean and clear atau informasi mengenai asal usul produksi timah yang diekspor. Padahal dalam peraturan yang berlaku di sektor ESDM, dokumen clean and clear tersebut diwajibkan bagi seluruh produk sumber daya alam mineral yang hendak diekspor.
Sebelumnya R. Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan pemerintah akan berupaya meningkatkan harga timah Indonesia dengan cara membatasi produksi dan ekspor menjadi 35 ribu ton sampai 40 ribu ton per tahun dari kapasitas saat ini sebanyak 90 ribu ton. "Harga timah diharapkan naik dari sekitar US$ 21 ribu per metrik ton menjadi lebih dari US$ 25 ribu per metrik ton dengan cara ini," ujar Sukhyar.
Selain itu, Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan juga tengah membahas revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 tahun 2014. Salah satunya adalah penerbitan sertifikat ET timah batangan akan dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, tidak lagi dari Pemerintah Provinsi.
"Tujuannya agar pengawasan kegiatan ekspor secara langsung dilakukan oleh pemerintah pusat," ujar Sukhyar.