WARISAN UNTUK JOKOWI

Menunggu Jeratan Utang Mengendur

CNN Indonesia
Selasa, 21 Okt 2014 17:45 WIB
Indonesia menyandang predikat negara pengutang ke-6 terbesar versi Bank Dunia. Mampukah pemerintahan Jokowi mengendurkan jeratan utang ini?
Presiden Joko Widodo dan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (CNN Indonesia/Antara Photo/Prasetyo Utomo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia negara kaya. Kaya akan hasil bumi dan kaya akan utang. Ironisnya, hasil bumi berkurang, nilai utang semakin berkembang.

Hingga Juli 2014, total utang Indonesia mencapai Rp 2.500,94 triliun. Nilai fantastis itu diukir pemerintah atas nama pembangunan. Semua rezim berkuasa punya andil menimbun utang. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono menyumbang 32,7 persen, utang Indonesia bertambah Rp 819 triliun dalam lima tahun terakhir.

Indonesia pun menyandang predikat negara pengutang ke-6 terbesar versi Bank Dunia (Debtor Reporting System, 2012), di bawah Tiongkok, Brasil, India, Meksiko dan Turki (Lihat infografis). Mampukan pemerintahan Joko Widodo lepas atau setidaknya melonggarkan jeratan utang ini?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Latif Adam, Pengamat Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan masalah utang tak bisa dihindari oleh setiap negara berkembang. Meski kaya akan sumber daya alam, negara berkembang tidak punya cukup modal untuk mengelola potensi ekonominya sendiri. Alhasil, utang menjadi solusi paling realistis. “Untuk Indonesia posisi utang saat ini sudah membahayakan karena tak hanya pemerintah, tetapi swasta juga berutang cukup besar,” ujarnya kepada CNN Indonesia, beberapa waktu lalu.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid dua sebenarnya sudah cukup baik dalam mengelola portfolio utang negara. Dalam tiga tahun pertama, rasio utang Indonesia terhadap PDB turun perlahan menyentuh level 24 persen pada 2012. Namun trennya berbalik melonjak menjadi 26,2 persen terhadap PDB pada 2013 dan diprediksi pada akhir tahun ini bertahan di kisaran 25,6 persen terhadap PDB.

Menurut Latif Adam, ada sejumlah faktor yang membuat pengelolaan utang pemerintah tidak terkendali dalam dua tahun terakhir. Antara lain karena faktor depresiasi rupiah yang meningkatkan beban utang valas serta lonjakan subsidi BBM yang memperlebar defisit APBN. “Saya yakin utang pemerintah sebagian besar untuk menutup impor BBM,” katanya.
 
Utang merupakan kebijakan “tambal-sulam” yang dipilih pemerintah ketika penerimaan yang masuk tak sepadan dengan kebutuhan belanja. Untuk menutup defisit anggaran sekaligus membayar utang jatuh tempo, pemerintah terpaksa membuat komitmen utang baru guna mendapatkan dana segar. Caranya dengan menarik pinjaman luar negeri dari pendonor internasional maupun menjual surat utang di pasar uang.

“Sebenarnya bukan soal haram atau tidak, tapi soal transparansi. Utang baru itu untuk apa, untuk menutup lubang yang mana?” ujar Latif bertanya.

Scenaider C. H. Siahaan, Direktur Strategi dan Portfolio Utang Kementerian Keuangan, menjelaskan penarikan utang baru setiap tahunnya merupakan kebijakan politik anggaran yang disepakati oleh pemerintah dan DPR. Utang tidak bisa asal ditarik karena harus memperhatikan berbagai risiko yang mungkin muncul di kemudian hari, seperti risiko pengembalian, suku bunga, inflasi, ataupun nilai tukar.

“Sampai sekarang kami lihat, bahkan dalam situasi yang kurang menguntungkan, utang kita masih bisa dibayar,” kata Scenaider.

Reformasi pengelolaan utang sebenarnya sudah dilakukan Kementerian Keuangan sejak 2004. Menurut dia, pinjaman asing yang dahulu menjadi andalan utama pendanaan pembangunan, secara bertahap dikurangi dan diganti dengan menerbitkan surat utang atau obligasi di pasar domestik. Penarikan pinjaman asing masih dilakukan, tetapi porsinya kecil, hanya 23 persen dari total utang pemerintah.

“Jadi kalau sekarang portfolio pembiayaan domestik hampir 80 persen, itu bukan hal yang terjadi dalam sekejap,” katanya.

Menurutnya, pinjaman luar negeri sengaja dikurangi karena mengekang kebebasan pemerintah untuk membelanjakan dana pinjamannya. Kerap muncul muatan politik dagang di balik pemberian pinjaman. Misalnya, kreditur mewajibkan si pengutang untuk membeli produk-produk dari negaranya.

“Cuma memang ada beberapa kasus, karena kita butuh teknologi dari negara itu, akhirnya kita tarik pinjaman proyek, seperti untuk pengadaan alutsista dan infrastruktur,” ujarnya.

Kendati pinjaman luar negeri menyusut, kenyataannya pengaruh asing masih sangat kuat dalam pengelolaan utang Indonesia. Hal itu tercermin dari penguasaan surat berharga negara (SBN) oleh investor asing yang jumlahnya terus meningkat. Hingga 10 Agustus 2014, kepemilikan SBN oleh asing sebesar 37,41 persen atau mencapai Rp 444,69 trliliun.

Henri Saparini, Direktur Eksekutif Economic Industry and Trade (ECONIT) Advisory Group mengatakan, pengelolaan utang yang baik dapat diukur dari perkembangan nilai utang dan kemampuan dalam membayarnya. “Kalau melihat jumlahnya yang terus bertambah seharusnya tidak aman karena semakin mengurangi kemampuan bayar,” kata dia.

Untuk mengukur kemampuan membayar pemerintah, Henri mengatakan bisa dilihat dari rasio cicilan dan bunga utang terhadap jumlah penerimaan ekspor (debt service ratio/DSR) Indonesia yang semakin mencemaskan. Rasio utang Indonesia pada triwulan I/2014 tercatat sebesar 46,31 persen, meningkat dibandingkan posisi akhir tahun lalu 43,38 persen. Angka tersebut merupakan kombinasi antara utang pemerintah dan swasta.

Pandai Berutang Tak Pandai Membelanjakan

Henri Saparini menilai penarikan utang secara masif yang dilakukan oleh pemerintah dalam 10 tahun terakhir lebih banyak rugi ketimbang manfaatnya. Selain karena biaya bunganya mahal, dana yang ditarik tidak mampu dibelanjakan dengan optimal. Alhasil selalu ada sisa lebih pembiayaan (Silpa) di akhir tahun anggaran karena tidak terserap maksimal. “Ini menjadi PR pemerintahan mendatang untuk mengefisienkan fiskal dengan membuat perencanaan proyek yang lebih matang,” ucap dia.

Sejatinya, berutang bukan kebijakan yang buruk selama jelas peruntukannya dan optimal pemanfaatannya. Namun patut diingat, negara atau lembaga donor tidak akan semudah itu menggelontorkan dana tanpa ada kepentingan di baliknya. Sehingga, perencanaan yang matang berdasarkan prinsip kehati-hatian menjadi syarat mutlak bagi pemerintah dalam mengupayakan pembiayaan agar Indonesia tidak semakin terjerat utang.  

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER