Jakarta, CNN Indonesia -- Subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang terus membengkak menjadi masalah klasik anggaran pemerintah yang tak pernah tuntas. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menuding Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selaku regulator sektor tersebut tidak pernah serius membuat kebijakan pengendalian konsumsi BBM.
"Menekan konsumsi BBM bersubsidi ini sebenarnya kalau mau pakai cara yang lebih keras kan bisa. Larang saja semua kendaraan pribadi menggunakan BBM bersubsidi. Cuma masalahnya sanggup tidak melakukannya karena teknologinya belum siap. Sayangnya Kementerian ESDM tidak pernah benar-benar mengerjakan pekerjaan rumahnya," ujar Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro di kantornya, Kamis (30/10) petang.
Dia berharap Sudirman Said, yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri ESDM yang baru benar-benar mampu mengendalikan konsumsi BBM berubsidi. Pengendalian yang dimaksud Bambang bukan hanya sekedar kebijakan harga, tetapi termasuk upaya pembatasan dan penyiapan teknologi pengawasannya. "Mudah-mudahan menteri baru ini bisa benar-benar membantu pengendalian bukan hanya pengendalian dari sisi harga saja," katanya.
Kementerian ESDM tidak pernah benar-benar mengerjakan pekerjaan rumahnya.Bambang Brodjonegoro |
Bambang mengingatkan, jika subsidi BBM tidak dipangkas mulai tahun ini maka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 bisa semakin banyak. Normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi Tiongkok akan menghantui perekonomian nasional pada tahun depan. Kunci untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan memangkas subsidi BBM guna mengendalikan defisit fiskal dan neraca perdagangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kuncinya adalah pastikan yang namanya defisit baik bujet maupun neraca pembayaran, bisa dikendalikan, dikurangi," katanya.
Caranya adalah dengan menjauhkan APBN dari segala macam pengeluaran yang rentan terpengaruh gejolak eksternal, seperti volatilitas harga minyak dan fluktuasi nilai tukar. Antara lain dengan mengubah skema pemberian subsidi, dari yang selama ini melekat pada barang atau harga menjadi langsung kepada masyarakat yang membutuhkan.
"Kalau kita masih menerapkan subsidi harga untuk apapun, maka itu sangat rentan dengan pergerakan kurs, pergerakan harga internasional sehingga bujet kita menjadi tidak sustainable dan akhirnya kita harus bolak-balik merevisi APBN," ujar Bambang.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Bambang mengatakan kenaikan harga BBM bersubsidi sekitar Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per liter mampu menekan volume pemakaian. hal ini tentu berpengaruh positif terhadap penurunan impor bahan bakar yang selama ini menjadi penyumbang utama defisit neraca perdagangan.
Disinggung mengenai impliksi penurunan harga minyak dunia, Bambang mengatakan penurunan tersebut baru akan terasa dampaknya terhadap fiskal maupun perekonomian nasional secara umum pada dua atau tiga bulan ke depan. Sebab, patokan harga yang digunakan saat ini adalah harga minyak untuk kontrak perdagangan masa depan bukan posisi harga saat ini.
"Sedangkan yang dijual di pompa bensin hari ini, itu stok yang dibeli seminggu atau dua minggu yang lalu yang masih menggunakan harga lama waktu dia pesan," tuturnya.