Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia perlu mewaspadai guncangan ekonomi yang datang akibat implikasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) yang berencana menaikkan suku bunga acuan tahun depan. Namun kebijakan moneter dinilai bukanlah satu-satunya jalan keluar untuk menghadapi potensi terjadinya ketegangan finansial tersebut.
Raden Pardede, Ekonom CRECO Research Institute mengungkapkan kenaikan suku bunga The Fed secara signifikan mampu mendorong keluarnya investasi penanaman modal dari Indonesia. Kebijakan tersebut dinilai mampu menguras cadangan devisa Indonesia dan mengancam adanya tekanan terhadap rupiah. "Jika hal ini terjadi, kami perkirakan rupiah akan tetap berada di level Rp 12 ribu," ujar Raden, Senin (3/1) petang.
Raden yang juga menjabat sebagai Komisaris Independen PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) itu mengatakan pemerintah dan otoritas keuangan wajib merilis sejumlah kombinasi kebijakan antara moneter, fiskal, struktural,
crisis management protocol, dan sebagainya guna mengantisipasi dampak dari kebijakan The Fed.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan hanya tergantung pada kebijakan moneter. Kebijakan moneter itu seperti obat panas, memang cepat menurunkan panas tapi bikin ketergantungan. Kita harus tahu penyebab penyakit struktural ekonomi kita," kata Raden.
Untuk itu dia menilai, Bank Indonesia (BI) harus berpikir matang jika ingin ikut menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) ketika Fed
Fund Rate mengalami penyesuaian. Hal ini sama dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Dampak dari kenaikan harga BBM bisa diimbangi jika kita mampu mengontrol harga makanan, jadi tidak perlu menaikkan suku bunga," katanya.
Menurutnya, Indonesia harus mampu menarik investasi dalam maupun luar negeri melalui kebijakan yang menarik. Dengan demikian, kebijakan moneter harus dikombinasi dengan kebijakan struktural seperti kebijakan fiskal dan sebagainya.