Jakarta, CNN Indonesia -- Penarikan utang luar negeri oleh pemerintah selama 54 tahun terakhir semakin membebani anggaran negara. Koalisi Anti Utang (KAU) mendesak pemerintahan Joko Widodo meniru gaya Pemerintah Argentina dalam melakukan negosiasi keringanan pembayaran utang dengan kreditur internasional.
"Ruang negosiasi masih sangat terbuka, baik dengan kreditur bilateral maupun multilateral, dan Jokowi harus memperjuangkan itu," ujar Ketua KAU Dani Setiawan kepada CNN Indonesia, Senin (10/11).
Menurut Dani, Indonesia harus mencontoh diplomasi Pemerintah Argentina dalam memperjuangkan penghapusan utang luar negeri, yang mayoritas merupakan utang swasta. Setelah mengupayakan negosiasi sejak 2001, Argentina akhirnya pada 2005 mendapatkan keringanan kewajiban utang dari kreditur-kreditur internasional, termasuk Amerika Serikat.
"Indonesia seharusnya jauh lebih mudah karena mayoritas utang negara. Jokowi tinggal berdiskusi dengan Barrack Obama atau Bank Dunia, misalnya, untuk mendapatkan keringanan," kata Dani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyerapan Rendah Dani mengatakan sampai saat ini anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membayar biaya komitmen, pokok maupun bunga pinjaman luar negeri sudah melampaui jumlah pinjaman yang ditarik. Itu pun masih belum dapat melunasi pokok atau
outstanding utang yang masih cukup besar pada saat ini.
Dia menilai buruknya perencanaan proyek dan program ketika pengajuan pinjaman luar negeri menjadi salah satu penyebab Indonesia tidak bisa keluar dari jeratan utang. Hal itu tercermin dari rendahnya penyerapan pinjaman akibat pelaksanaan proyek dan program yang berjalan lambat.
"Utang yang bisa diserap paling sekitar 70-75 persen per tahun karena masalah pembebesan lahan, perizinan dan lain-lain. Hal itu karena sering kali tidak semua pinjaman merupakan keinginan dari pihak dalam negeri, banyak juga yang dibuat berdasarkan kepentingan pemberi kredit," tuturnya.
Dani menganggap komitmen pemerintah untuk mengurangi utang luar negeri tidak selaras dengan fakta penarikan pijaman luar negeri yang cukup besar dalam lima tahun terakhir. Menurutnya, Indonesia tidak akan bisa terbebas dari jerat utang selama masih ada selisih yang cukup besar antara penerimaan yang masuk dengan anggaran yang dibelanjakan.
"Kalau anggaran kita masih didisain defisit, artinya utang masih menjadi prioritas. Jadi hanya
lip services," ujarnya.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan mencatat jumlah perjanjian pinjaman luar negeri yang telah ditandatangani oleh pemerintah sejak 1960 hingga Juni 2014 sebanyak 4.819 kontrak, dengan total nilai mencapai US$ 287,3 miliar atau Rp 3.488,5 triliun.
Biaya yang harus ditanggung pemerintah sebagai konsekuensi tersebut mencapai US$ 3,06 miliar atau Rp 37,2 triliun, meskipun sebanyak 58 komitmen dibatalkan dan 31 pinjaman belum ditarik sama sekali.