Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah meminta pelaku industri perbankan belajar dari kasus gagal bayar bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) agar lebih berhat-hati dalam menerima kucuran kredit. Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan pemerintah ke depannya tidak akan lagi membantu perbankan yang mengalami kasus serupa.
"Resiko itu merupakan bagian dari bisnis bank, bukan pemerintah. Kami tidak mau bayar resiko perbankan. Kalau mau bubar, bubarlah," ujar Jusuf Kalla (JK) di acara Risk and Governance Summit 2014, Selasa (18/11).
Wapres mengatakan polemik mengenai BLBI sewaktu menyiasati krisis moneter 1998 masih menyisakan sejumlah persoalan. Menurut JK, pemerintah masih harus membayar cicilan utang BLBI sebesar Rp 125 triliun per tahun, yang dananya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Posisi terakhir utang dan bunga BLBI pada awal 2014 diketahui masih berkisar Rp 3.000 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anda bisa lihat di APBN-P 2014. Disana Pemerintah harus membayar cicilan serta bunga BLBI sebesar Rp 125 triliun per tahun dan ini memberatkan," kata JK.
Karenanya, JK meminta industri perbankan nasional lebih seksama dalam menerima kucuran kredit dan menentukan strategi keuangan yang tepat. Ini dimaksudkan agar kejadian krisis moneter pada 1998 silam tidak terulang kembali.
"Pengalaman krisis moneter 1998 sampai sekarang dampaknya masih terasa dan saya pikir bisa menjadi pembelajaran industri bank hingga 30 tahun ke depan," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad berjanji akan terus mendorong industri perbankan nasional menerapkan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG). "Tujuannya untuk memperkokoh kondisi keuangan Indonesia," ujarnya.