Jakarta, CNN Indonesia -- Persatuan Perusahaan Realestate Indonesai (REI) optimistis industri properti masih akan tumbuh 10 persen pada tahun depan seiring dengan meningkatnya permintaan hunian. Berdasarkan kajian REI rata-rata kebutuhan baru hunian di Indonesia setiap tahunnya sebanyak 800 ribu unit.
"Saat ini masih terjadi ketertinggalan hunian 15 juta unit dan rata-rata kebutuhan barunya 800 ribu per tahun. Kami di Rei baru bisa penuhi 200 ribu unit di tambah pemerintah sekitar 100 ribu, jadi masih kurang banyak," jelas Setyo Maharso, Ketua Badan Pertimbangan Organisasi REI kepada CNN Indonesia, Rabu (19/11).
Untuk menutup selisih tersebut, Setyo mengatakan perlu dukungan pemerintah dengan menciptakan regulasi yang bersahabat. Setidaknya, kata Setyo, ada 28 aturan perizinan yang menghambat industri properti sehingga perlu disederhanakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semoga pemerintahan baru bisa keluarkan regulasi yang pro rakyat, karena yang banyak dibutuhkan perumahan untuk rakyat berpenghasilan rendah. Bisalah tumbuh 10 persen tahun depan," katanya.
Setyo mengakui harga properti di beberapa kota besar sudah melampaui nilai riil properti karena keterbatasan lahan dan tingginya permintaan. Namun, itu bukan gelaja penggelembungan (bubble) properti karena di banyak wilayah justru belum tergarap dengan optimal.
"Bubble tidak di seluruh Indonesia, kalau over value mungkin iya, itu pun di sebagian Jakarta saja. Tingkat kredit bermasalah (NPL) juga masih di bawah 5 persen, jadi masih aman," katanya.
Sayangnya, lanjut Setyo, di tengah agresifitas industri properti, Bank Indonesia (BI) justru menaikkan suku bunga acuan. Hal itu diyakini akan mendongkrak suku bunga kredit konsumsi perbankan, yang pada gilirannya memukul konsumen dan pengembang properti.
"Kalau suku bunga naik akan memukul dunia usaha dan debitur," katanya.
Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Senior BI, menjelaskan kebijakan suku bunga yang diambil bank sentral adalah untuk menjaga stabilitas harga atau meredam ekspektasi inflasi. Langkah ini diyakininya tak akan membuat NPL kredit konsumsi seperti kredit pemilikian rumah (KPR) meningkat seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.
"BI mencatat pertumbuhan NPL terkait dengan kegiatan properti, seperti KPR, Kredit Konstruksi & Kredit Real Estate menunjukkan tren penurunan, meskipun masih lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2010," ujarnya dalam acara Rapat Kerja Nasional REI di Hotel Borobudur.
Menurut Halim, NPL KPR per September 2014 sebesar 2,43 persen, sedikit menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya 2,49 persen. Namun, diakui lebih tinggi dibandingkan dengan NPL KPR per September 2013 yang sebesar 2,36 persen.
"Rasio NPL paling tinggi terdapat pada KPR tipe 21, yaitu untuk tipe segmen masyarakat berpenghasilan rendah," kata Halim.
Terkait risiko bubble property, Halim mengatakan kenaikan harga properti terjadi hanya untuk tipe menengah, sedangkan untuk tipe besar dan kecil harganya cenderung stagnan. "Tidak akan terjadi bubble karena harga rumah yang tipe besar masih stagnan, tipe kecil juga stagnan. Lebih karena permintaan di tipe menengah yang sedang tinggi," tutup Halim.