Jakarta, CNN Indonesia -- Industri produk kulit nasional mengalami stagnasi selama satu dekade terakhir, dengan kapasitas produksi per tahun hanya 20 persen dari total permintaan rata-rata 300 juta
square feet per tahun. Asosiasi Industri Penyamak Kulit Indonesia (APKI) menuding kebijakan pemerintah membatasi impor bahan baku kulit hanya dari 60 negara yang menjadi penyebabnya.
"Sudah 10 tahun kami hidup segan mati tak mau," kata Agit Punto Yuwono, Ketua Deputi Bahan Baku APKI kepada CNN Indonesia, Selasa (25/11) malam.
Agit menjelaskan produk kulit merupakan barang mewah yang tingkat permintaannya cukup tinggi di Indonesia. Saat ini ada sekitar 100 perusahaan penyamak kulit dengan kapasitas produksi total berkisar 250
square feet hingga 300
square feet per tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun karena pasokan bahan bakunya terbatas, hanya bisa diimpor dari 60 negara, kami hanya bisa mengolah 20 persen dari kapasitas terpasang," jelasnya.
Menurut Agit, produsen produk kulit nasional selama ini tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri karena terkekang oleh kebijakan pembatasan impor pemerintah. Agit mengaku APKI sudah berulang kali merayu pemerintah agar kebijakan impor dibebaskan namun selalu gagal.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana mengatakan cukup banyak perusahaan industri penyamak kulit di Indonesia, yang tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk industri barang jadi kulit saja jumlahnya sekitar 2.135 perusahaan besar dan menengah, dengan serapan tenaga kerja mencapai 995.315 orang dan total investasi mencapai Rp 19,37 triliun.
"Pada 2013, nilai ekspor produk barang jadi kulit mencapai US$ 6,2 miliar dengan nilai produksi Rp 56,95 triliun dan utilisasi sebesar 59,76 persen," kata Agus seperti dikutip dari Antara.
Menurut Agus, dengan adanya globalisasi perdagangan dunia, dampak yang sangat dirasakan adalah tantangan pada kemampuan daya saing industri nasional di pasar global. Perjanjian kerja sama perdagangan dengan negara lain membuat persaingan dagang menjadi ketat, sehingga menjadi tantangan yang perlu disikapi dengan cermat oleh dunia usaha nasional.
Untuk itu, Agus menyampaikan dunia usaha harus melakukan efisiensi di bidang produksi dan pemasaran, serta memberi nilai positif berupa akses pasar, akses teknologi, investasi dan peningkatan sumber daya manusia.
"Kami seperti dikebiri oleh pemerintah. Pasar ada, pabrik ada, produksi sanggup, tapi impor dibatasi karena pertimbangan penyakit kulit dan kuku. Sementara kompetitor kita Tiongkok, India dan Brasil dibebaskan," ujar Agit.
Agit mengatakan harga kulit saat ini berkisar US$ 3 per
square feet, meningkat setiap tahun seiring dengan tingginya permintaan. Dengan asumsi kemampuan produksi dan penjualan sekitar 20 persen atau rata-rata 60 juta
square feet, maka nilai pasar kulit Indonesia pada tahun ini diprediksi mencapai US$ 180 juta.
"US$ 180 juta itu baru nilai bahan baku kulitnya. Kalau diolah jadi sepatu, jaket, ikat pinggang dan lain-lain bisa naik empat kali lipat nilainya," tutur Agit.