HARGA MINYAK DUNIA

Harga Minyak Anjlok, Untung Pertamina Bisa Tergerus 50 Persen

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Senin, 19 Jan 2015 13:53 WIB
Arief Budiman, Direktur Keuangan Pertamina menyebut penurunan harga minyak dunia yang terjadi saat ini sebagai krisis.
(REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNN Indonesia -- Merosotnya harga minyak dunia dalam beberapa bulan terakhir menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi perusahaan-perusahaan minyak dan gas bumi (migas) yang beroperasi di Indonesia. Bahkan Indonesian Petroleum Association (IPA) memperkirakan nilai investasi sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) tahun ini akan turun sebesar 20 persen menjadi US$ 25,6 miliar dibandingkan proyeksi investasi 2014 sebesar US$ 32 miliar.

Lukman Mahfoedz, Board of Director IPA pernah menjelaskan penurunan perkiraan investasi hulu migas tersebut terjadi karena mayoritas perusahaan minyak menahan diri untuk melakukan investasi akibat harga minyak dunia yang diperkirakan masih rendah sepanjang tahun ini.

Sinyalemen penghematan juga berembus dari PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara (BUMN) di sektor migas. Arief Budiman, Direktur Keuangan Pertamina menyebut penurunan harga minyak dunia yang terjadi saat ini sebagai krisis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Penurunan harga minyak mentah itu luar biasa. Pada kuartal III 2014 lalu harganya masih di US$ 100 per barel, sekarang sekitar US$ 51 per barel. Maksudnya dari sisi potensi profit, penurunan ini bisa 40 persen sampai 50 persen,” ujar Arief, dikutip dari situs resmi Pertamina, Senin (19/1).

Arief menyebut, satu-satunya yang diuntungkan dari penurunan harga minyak mentah dunia adalah masyarakat yang notabene pembeli dari produk bahan bakar minyak (BBM) di sektor hilir. Semakin dalam penurunan harga minyak, maka harga jual BBM jenis premium, solar, pertamax, dan BBM non-subsidi lainnya bisa semakin murah harganya. (Baca: Harga Minyak Turun, Rakyat Untung Namun APBN Buntung)

“Bagi masyarakat umum atau konsumen tentunya hal ini bagus karena harga BBM jadinya bisa turun dan inflasi pun semestinya turun. Namun buat energy company seperti Pertamina walaupun kita lebih besar di hilir, tetap saja profit itu datang dari sektor hulu,” kata Arief.

Untuk menjaga tingkat profitabilitas tersebut, Arief mengatakan Pertamina mau tidak mau harus mengelola seluruh biaya-biaya operasional dan investasi dengan lebih ketat. Mantan bos PT McKinsey Indonesia tersebut meminta investasi apapun yang dikeluarkan perseroan harus membuahkan hasil. (Baca: Pertamina Teken MoU Pengembangan Kilang US$ 25 Miliar)

“Kalau harga dan keuntungan lagi naik, kita lebih loose-lah. Tetapi sekarang kita harus me-review lagi proses-proses bisnis, melakukan pengendalian keuangan dan investasi, mulai dari yang besar sampai yang kecil-kecil. Jadi kalau nanti perusahaan lebih ketat dalam pengendalian biaya, bukannya berarti kita mau asal ketat. Tetapi memang tuntutan bahkan kewajiban agar perusahaan tetap sehat,” tegasnya.

Arief menandaskan dalam kondisi sulit seperti ini, pemerintah sebagai pemegang saham Pertamina tetap menginginkan BUMN migas miliknya tersebut tetap menghasilkan keuntungan.

Sepanjang 2015, Pertamina menyiapkan anggaran belanja modal sebesar US$ 5 miliar atau hampir Rp 62 triliun. Anggaran tersebut rencananya akan dipakai untuk membiayai pengembangan Blok Mahakam dan beberapa proyek hilir (downstream) perseroan.

"Blok Mahakam itu membutuhkan dana investasi US$ 2,5 miliar sendiri. Sedangkan sisanya untuk membangun infrastruktur minyak dan gas (migas) di downstream," ujar Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto akhir tahun lalu.

Untuk menutupi kebutuhan tersebut, Dwi mengatakan pihaknya akan mengumpulkan dana dari kas internal, yang diambil dari laba bersih tahun ini. Selain itu, perusahaan migas pelat merah tersebut juga berencana menerbitkan surat utang atau obligasi, baik di pasar domestik maupun di pasar global. Namun, Dwi belum menentukan berapa target penerbitan obligasi berikut tenor dan kuponnya.

Sampai semester I 2014 lalu, Pertamina tercatat membukukan laba komprehensif yang diatribusikan kepada pemegang saham sebesar US$ 1,13 miliar. Turun 24,16 persen dibandingkan perolehan laba bersih semester I 2013 sebesar US$ 1,49 miliar. Meskipun Pertamina berhasil membukukan pendapatan sebesar US$ 36,73 miliar, naik 6,03 persen dibandingkan pendapatan semester I 2013 sebesar US$ 34,64 miliar namun beban usaha perseroan juga membengkak.

Pertamina tercatat menghabiskan biaya US$ 33,23 miliar sepanjang semester I 2014 atau naik 6,5 persen dibandingkan periode yang sama di 2013 sebesar US$ 31,2 miliar. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER