Menkeu: Tax Ratio Bisa 13,57 Persen Asal PNBP Diperhitungkan

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Jumat, 23 Jan 2015 09:30 WIB
Nilai tax ratio di luar PNBP dalam RAPBNP 2015 sebesar 3,3 persen PDB, meningkat dibandingkan dengan target tahun lalu 2,4 persen PDB.
(ki-ka) Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang P.S. Brodjonegoro, dan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago saat mengikuti Rapat Kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Rabu, 21 Januari 2015. Rapat tersebut membahas Pembicaraan Tk.I/Pembahasan RUU tentang Perubahan APBN TA 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah mengusulkan rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015 sebesar 13,57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menjelaskan target tersebut tak hanya memperhitungkan setoran pajak, bea dan cukai, tetapi juga memasukan komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam dalam pembobotannya.

“Kami ingin usulkan definisi tax ratio yang baru, tidak hanya terkait dengan pajak, bea dan cukai, tapi juga memasukkan PNBP dari SDA (sumber daya alam) migas serta PNBP dari sumber daya alam pertambangan minerba,” ujar Bambang dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (22/1).

Menurutnya, PNBP dari SDA migas yang didasarkan pada kontrak bagi hasil serta PNBP dari SDA minerba yang berupa royalti, merupakan bentuk lain dari pajak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Dengan definisi baru yang diusulkan tersebut, maka tax ratio diusulkan dalam RAPBN-P 2015 ini menjadi 13,57 persen,” tuturnya.

Apabila mengeluarkan PNBP dari perhitungan, pemerintah menghitung persentase tax ratio dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBNP 2015 hanya sebesar 3,3 persen PDB. 

Secara nominal, pendapatan perpajakan 2015 diperkirakan mencapai Rp 1.484,5 triliun, meningkat Rp 238,4 triliun dari target tahun lalu Rp 1.246,1 triliun. Kenaikan tersebut terutama berasal dari peningkatan pendapatan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) nonmigas, dan cukai.

Bambang Brodjonegoro mengatakan untuk bisa mencapai tax ratio 16 persen PDB seperti yang dituntut banyak kalangan, setidaknya nominal setoran pajak yang harus masuk ke kas negara mencapai Rp 1.700 triliun. Namun, realisasinya sejauh ini masih jauh dari harapan dan diupayakan pada 2015 selisih kurang bisa dipangkas dengan target penerimaan perpajakan yang lebih tinggi.

"Target penerimaan pajak Rp 1.484 triliun itu pun masih ada gap Rp 200 triliun lebih dan kami mencoba membuat strategi agar gap itu bisa diperkecil," tuturnya.

Menurutnya, masih ada celah untuk meningkatkan kinerja perpajakan selama didukung secara hukum dan data saat lakukan penagihan. Bambang menilai salah satu penyebab rendahnya penerimaan pajak adalah karena tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) yang minim.

"Ada kasus, si WP biasanya membayar Rp 80 juta dan staf pajak lupa mengecek dan ditemukan pajak yang harus dibayarkan seharusnya dalam setahun Rp 14 miliar. Itu potensi yang harus dikejar," tuturnya.

Rendahnya kepatuhan, lanjut Bambang, juga tercermin dari maraknya aksi manipulasi harga oleh korporasi atau transfer pricing. Menurutnya, ada ribuan investor asing yang melaporkan jumlah barang yang diekspor tidak sesuai dengan bobot riilnya guna mengurangi pajak produksi.

"Untuk penegakan hukum, kami lihat dalam beberapa minggu terakhir cekal paksa badan itu efektif. Ketika cekal tidak dicabut dan diperpanjang mereka akhirnya membayar. Kami lihat ini harus dilakukan serius," jelasnya.

Selain itu, lanjut Bambang, terjadi lonjakan restitusi PPN yang cukup signifikan pada periode sebelumnya yang membuat potensi penerimaan negara berkurang. Karenanya, otoritas pajak akan didorong untuk mencegah kebocoran pajak dari restitusi dengan menerapkan sistem pembayaran secara elektronik (e-tax invoice). (ags/ags)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER