PAJAK BARANG MEWAH

Fokus Otoritas Pajak ke Transaksi Barang Mewah Dinilai Keliru

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Senin, 26 Jan 2015 11:50 WIB
Pendapatan perpajakan tahun ini direncanakan sebesar Rp 1.484,5 triliun, meningkat Rp 238,4 triliun dari target tahun lalu Rp 1.246,1 triliun.
Pendapatan perpajakan tahun ini direncanakan sebesar Rp 1.484,5 triliun, meningkat Rp 238,4 triliun dari target tahun lalu Rp 1.246,1 triliun.(CNNIndonesia/Free Watermark)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah akan memungut pajak penghasilan (PPh) lebih tinggi bagi penjual dan pembeli barang-barang mewah sebagai upaya menggenjot penerimaan negara. Darussalam, pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, menilai strategi tersebut dinilai keliru karena wajib pajak telah dibebankan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang esensinya untuk membatasi konsumsi bukan memaksimalkan penerimaan.

"Seperti halnya pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebenarnya tidak dalam konteks untuk tax revenue atau meningkatkan penerimaan pajak, tetapi untuk membatasi masyarakat agar tidak konsumtif," jelasnya kepada CNN Indonesia, Senin (26/1).
 
Idealnya, kata Darussalam, otoritas pajak tidak mengharapkan pemasukan tinggi dari transaksi jual-beli barang mewah, tetapi fokus pada upaya membenahi aturan dan sistem administrasi perpajakan agar kontribusi PPh dan pajak pertambahan nilai (PPN) meningkat.  "Jadi pola pikirnya harus diubah," tuturnya

Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2015 disebutkan pendapatan perpajakan tahun ini direncanakan sebesar Rp 1.484,5 triliun, meningkat Rp 238,4 triliun dari target tahun lalu Rp 1.246,1 triliun. Kenaikan tersebut terutama berasal dari peningkatan pendapatan pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) nonmigas, dan cukai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Darussalam meyakini Direktorat Jenderal pajak (DJP) akan kesulitan untuk bisa mencapainya dengan kondisi lembaga, aturan dan administrasi perpajakan yang masih berantakan. Demikian halnya dengan janji Pemerintahan Joko Widodo mengerek rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio)  menjadi 15,8 persen pada 2018, Darussalam menilai tak masuk akal.

"Itu sangat suli. Seharusnya tahun ini masa transisi yang digunakan untuk pembenahan kelembagaan, aturan dan administrasi perpajakan. Penerimaan itu hanya konsekuensi logis kalau kelembagaan sudah beres, aturan sudah benar, dan administrasi sudah rapih," jelasnya.
 
Intinya, Darussalam mengatakan DJP harus berani mengambil langkah strategis untuk melakukan reformasi dan pembenahan besar-besaran di internal organisasinya kendati setoran pajak yang masuk ke kas negara tidak sebesar yang diharapkan. (ags/ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER