Jakarta, CNN Indonesia -- Rupiah disebut bakal terpengaruh pada rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat alias The Federal Reserve. Tapi politikus PDI Perjuangan Hamid Basyaib menyarankan untuk pemerintah tidak terlalu menggubris rencana itu.
"Saya rasa banyak kiblat seperti China dan Eropa, tidak harus melulu kita gubris USA melalui Bank Sentralnya (The Fed)," ucap Hamid dalam sebuah forum diskusi, "Perspektif Indonesia" di Jakarta, Sabtu, (31/01).
Hamid melanjutkan bahwa saat ini rupiah terlalu terpengaruh AS, "Kita sangat 'bermakmum' dengan USA, padahal banyak yang bisa dijadikan kiblat keuangan kita," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Hamid, pengamat ekonomi sekaligus Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas, Faisal Basri, mengungkapkan bahwa ada enam negara yang berisiko terkena dampak langsung kenaikan suku bunga The Fed.
Keenam negara tersebut adalah: Rusia, Argentina, Brasil, India, Turki, dan Afrika Selatan (RABITS).
Faisal menyampaikan bahwa RABITS berisiko terkena pusaran berbahaya (dangerous spiral), yang artinya akan memberikan dampak eksternal yang terjadi karena menguatnya ekonomi AS tersebut.
"Alhamdulillah, Indonesia tidak masuk," ujar Faisal di Gedung Bank Indonesia (BI), beberapa waktu lalu.
Faisal mengatakan bahwa pusaran berbahaya tersebut merupakan sebuah dampak sistemik yang terjadi di suatu negara akibat pengaruh ekonomi global. Adapun, kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve akan menarik arus modal asing yang selama ini membanjiri pasar keuangan Indonesia.
Pada penutupan perdagangan Jumat (30/1) kemarin, rupiah kembali merosot 0,72 persen ke angka Rp 12.672 per dolar AS. Kalau dibandingkan sejak Jumat pekan lalu, rupiah merosot 1,71 persen selama sepekan ini. Saat itu rupiah bercokol di angka Rp 12.459 per dolar AS.
(ded/ded)