Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Pelayaran Indonesia (INSA) menolak rencana pemerintah menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) bagi pelaku industri pelayaran. Ketua INSA Carmelita Hartoto menilai kebijakan tersebut dapat mematikan industri pelayaran sehingga kontraproduktif dengan program pengembangan sektor maritim nasional.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 416 Tahun 1996 tentang Norma Penghitungan Khusus Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri, tarif PPh dikenakan 1,2 persen dari peredaran bruto dan bersifat final. Beleid ini rencananya akan direvisi oleh Menkeu, menyesuaikan dengan target penerimaan pajak dari sektor pelayaran yang naik.
"Kami apresiasi peningkatan penerimaan pajak dari sektor kami, yang tadinya senilai Rp 80,8 miliar ke Rp 1 triliun, tapi bukan dengan penambahan beban pajak lagi ke kami," ujar Carmelita di Gedung Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, Selasa (10/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Carmelita menilai seharusnya pemerintah mengenakan pajak final tersebut kepada kapal-kapal pelayaran asing, yang menguasai 90 persen kegiatan ekspor dan impor Indonesia. Menurutnya, selama ini kapal-kapal pelayaran asing tak pernah dikenakan pajak saat berlabuh di pantai Indonesia, sebaliknya kapal-kapal domestik selalu dikenakan pajak selepas berlayar ke luar negeri. Perlakuan diskriminasi inilah yang menurutnya harus ditindaklanjuti oleh pemerintah.
"Contoh saja kapal kita kalau melaut ke Vietnam balik lagi kesini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan. Kalau kapal Singapura mendarat di pelabuhan kita, mana kena pajak," tuturnya.
Wacana penambahan pajak bagi industri pelayaran dinilai Carmelita semakin memberatkan beban operasional sektor pelayaran. Setidaknya, lanjut Carmelita, sekitar 30 persen dari jumlah kapal domestik yang berlayar akan berhenti beroperasi akibat kebijakan ini.
"Selama ini komponen biaya terbesar kita adalah bahan bakar minyak sebesar 40 persen. Disusul dengan biaya pelabuhan 30 persen, jadi total 70 persen. Biaya maintenance dan kru pegawai kira-kira sebesar 23 persen jadi kita cuma dapat bagian 7 persen. Segitu sudah berat, kalau tambah pajak lagi kan ini mematikan usaha kita namanya," katanya.
Carmelita melihat ada potensi penerimaan pajak sekitar Rp 10 triliun per tahun jika perlakuan pajak diterapkan sama bagi kapal-kapal pelayaran berbendera asing. Dia juga berharap pemerintah dapat menerapkan tarif pelabuhan dengan denominasi rupiah gun ameminimalkan risiko pelemahan kurs terhadap beban operasional industri pelayaran.
"Dari segi freight saja kita lebih mahal 10 persen dari jasa pelayaran negara-negara Asia Tenggara lainnya, jadi kami minta kepada pemerintah untuk mendukung daya saing jasa sektor kita," tutur Carmelita.
Sebelumnya, Carmelita mengungkapkan akibat wacana revisi PMK 416 tahun sejumlah saham emiten pelayaran mengalami pelemahan. Emiten-emiten tersebut antara lain PT Soechi Lines tbk, PT Wintermar Offshore Marine Tbk, PT Logindo Samudramakmur Tbk, dan PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk.