Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan terdapat tindakan yang tidak konsisten dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terkait implementasi peraturan pelarangan penggunaan cantrang dalam penangkapan ikan yang dinilai merusak lingkungan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Gellwynn Jusuf mengutarakan, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diketahui bahwa Kepala Dinas KP Provinsi Jawa Tengah menyatakan penerbitan izin penangkapan ikan menggunakan cantrang dihentikan per tanggal 1 September 2005 karena merusak lingkungan di dasar laut.
“Kemudian terungkap bahwa Dinas KP Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 18 Maret 2013 ternyata telah membuat kesepakatan dengan perwakilan nelayan cantrang Jawa Tengah. Dalam kesepakatan itu disebutkan, kapal cantrang yang sudah terlanjur dibangun dapat memperoleh fasilitas perizinan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI),” ungkapnya dalam keterangan resmi, dikutip Senin (23/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut database perizinan SIPI, diketahui bahwa jumlah izin kapal dengan alat tangkap cantrang 10-30 GT yang telah diterbitkan sampai dengan tahun 2012 adalah sebanyak 835 unit. Berbeda dengan penyataan Kepala Dinas KP Provinsi Jawa Tengah dalam suratnya No. 523.52/134 tanggal 16 Januari 2013 yang hanya menyebutkan 484 unit.
“Berdasarkan LHP tersebut, maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dinilai tidak konsisten dalam pengaturan alat penangkap ikan Cantrang. Seharusnya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tidak lagi memberikan izin kapal perikanan dengan menggunakan Cantrang terhitung sejak 1 September 2005,” ujar Gellwynn.
Lebih lanjut menurut Gellwynn, dari fakta lapangan tentang operasional alat penangkapan ikan cantrang di Jawa Tengah terungkap bahwa jumlah kapal meningkat dari 5100 (2007) menjadi 10.758 unit (2015).
Padahal, lanjutnya, sesuai komitmen seharusnya dikurangi secara bertahap. Kedua, telah terjadi pelanggaran berupa pengecilan ukuran gross tonnage kapal yang dibuktikan dengan hasil uji petik di Kabupaten Tegal, Pati, dan Rembang.
Ketiga, spesifikasi teknis alat penangkapan ikan yang tidak sesuai ketentuan baik ukuran mesh size maupun ukuran tali ris. Keempat, telah terjadi pelanggaran daerah penangkapan ikan yang menyebabkan konflik dengan nelayan setempat, seperti kasus di Kota Baru, Kalimantan Selatan, Masalembo, Sumenep.
“Selanjutnya, juga telah terjadi potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan subsidi BBM akibat pengecilan ukuran GT kapal,” katanya.
Penegasan PelaranganGellwynn menyatakan, berdasarkan kronologis kejadian pengaturan tersebut dan memperhatikan kerusakan yang ditimbulkan terhadap kesediaan sumber daya ikan, maka secara prinsip kapal cantrang dilarang beroperasi diseluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
Sedangkan, berdasarkan pertemuan antara pemerintah daerah dengan perwakilan nelayan dari Rembang, Pati, Batang, dan Kota Tegal yang difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2009, maka para nelayan memahami dan sepakat bahwa cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan siap mengalihkannya secara bertahap.
"Adapun untuk penyelesaian permasalahan kapal cantrang yang telah beroperasi di luar ketentuan agar diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi, karena pemerintah provinsi memiliki kewenangan dan pengendalian terhadap pemberian izin kapal dibawah 30 GT," jelas Gellwynn.