Jakarta, CNN Indonesia -- Pengusaha pengolahan ikan tuna dari Bitung, Sulawesi Utara, membantah berita tentang tudingan adanya praktek penipuan izin pendirian pabrik Unit Pengelolaan Ikan (UPI) seperti yang disinyalir oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Salah satunya adalah PT Samudra Mandiri Sentosa. Abrizal A. Ang, dari PT Samudra, mengatakan pihaknya adalah perusahaan pengalengan tuna yang 100 persen milik orang Indonesia dan 100 persen karyawannya pun orang Indonesia.
PT Samudra, kata Abrizal, membeli ikan tuna dari nelayan lokal dan dari kapal penangkap ikan lokal yang bekerja sama dengan mereka. Dia bilang tak ada keterlibatan orang asing di sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Produksi mereka, kata Abrizal, saat ini mencapai 20-30 ton per hari, setelah pada pertengahan 2014 sempat mencapai 50 ton per hari. Sejak moratorium
transhipment (Pemindahan muatan di tengah laut) diberlakukan oleh Kementerian Kelautan, kata dia, produksi mereka juga ikut menurun.
“Pasar tuna pun saat ini sedang lesu, tapi kami usahakan tetap bisa jualan,” tutur dia kepada CNN Indonesia, Rabu (25/2).
Soal utilitas yang disebut rendah dalam data KKP, kata Abrizal, bisa jadi terkait dengan banyak faktor, antara lain faktor permintaan, ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, dan cara perhitungan. Kapasitas terpasang mesin di pabrik PT Samudra adalah 70-80 ton per hari, sedangkan rata-rata produksi sebelum moratorium adalah 50-60 ton. "Itu sudah hampir mencapai maksimal," tuturnya.
Abrizal mengeluhkan pemberitaan soal tudingan itu telah mempengaruhi bisnis mereka saat ini.
Perusahaan lain yang melancarkan protes adalah PT Delta Pasific Indotuna. Dalam klarifikasinya kepada CNN Indonesia, manajemen PT Delta mengatakan pendirian UPI dilakukan untuk mengolah hasil tangkapan ikan yang dibeli dari nelayan atau perusahaan penangkap.
"Kami atas nama management PT Delta Pasific Indotuna dengan tegas menyatakan bahwa berita tersebut adalah salah besar sehingga merupakan fitnah yang mencoreng nama baik perusahaan kami," ujar General Manager DPI Abdul Khalid kepada CNN Indonesia, Rabu (25/2).
Abdul menjelaskan DPI sama sekali tidak memiliki armada atau kapal penangkap ikan. Sejak berdiri pada 2006, lanjut Abdul, perusahaannya tidak pernah mengekspor ikan ke Uni Eropa seperti yang dituduhkan Susi.
"Hal ini bisa di-
cross check ke Kementerian Kelautan dan Perikanan di mana Ibu Menteri berkantor," tuturnya.
Menurutnya, DPI baru beberapa hari yang lalu memperoleh nomor persetujuan (
approval number) untuk mengekspor produk ikan olahan ke Uni Eropa dari Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan (BKIPM) KKP dan baru berlaku per 6 Maret 2015.
"Lebih lanjut kami ingin tegaskan bahwa perusahaan kami bukan perusahaan abal-abal karena kami mempekerjakan lebih dari 1.200 orang tenaga kerja dan setiap bulan kami melakukan ekspor baik berupa ikan tuna kaleng maupun berupa
frozen precooked tuna loin," ucap Abdul.
Berdasarkan catatan DPI, pada 2014 perseroan mengekspor sebanyak 390 FCL (
Full Container Loaded) atau setara dengan 10.000 metrik ton (MT) bahan baku ikan. "Namun, sejak November 2014 sampai saat ini volume produksi turun drastis bahkan dalam sebulan lebih banyak hari yang tidak berproduksi (karyawan diliburkan) karena tidak ada bahan baku ikan sebagai dampak dari Permen KP No. 57 (2014)," tuturnya.
CNN Indonesia mencoba menghubungi Menteri Susi terkait bantahan ini, tapi belum mendapatkan jawaban. Begitu pun Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, yang kami hubungi via telepon selular, tak menjawab panggilan.
(ded/ded)