Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia, yang saat ini tengah mengejar pertumbuhan ekonomi tujuh persen hingga lima tahun ke depan, ternyata masih sangat membutuhkan investasi asing langsung (FDI). Investasi asing ini dibutuhkan mengingat peringkat kredit yang diberikan oleh Standar and Poor (S&P) masih di bawah
investment-grade.Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Group Research Gundy Cahyadi mengatakan, saat ini pemberian kredit rating oleh S&P kepada Indonesia dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yang banyak diperbincangkan terkait investasi yakni pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), permasalahan pengembangan infrastruktur, dan likuiditas eksternal.
“Indonesia sudah menjawab dengan pengurangan subsidi BBM, kini pertanyaan investor adalah dua yang terakhir, yaitu
bottleneck di infrastruktur dan likuiditas eksternal,” kata Gundy di Jakarta, Rabu (25/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gundy menjelaskan tantangannya adalah jumlah utang luar negeri (ULN) yang besarnya melebihi cadangan devisa (cadev) negara. “Akhir 2014 cadev Indonesia dibanding jumlah total ULN rasionya paling kecil di antara negara-negara Asia. Market akan melihat ekonomi Indonesia masih lemah,” kata Gundy.
Untungnya, kata Gundy, menanggapi kondisi likuiditas eksternal itu, Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan baru yang melindungi mata uang asing di antara perusahaan lokal. Hal ini akan membantu mengurangi risiko ketidakseimbangan antara nilai aset dan liabilitas dalam setiap jenis mata uang (
currency mismatch risk).
“Ke depannya saya rasa BI akan sangat memfokuskan pada kondisi ULN oleh swasta. BI akan mendorong swasta untuk
hedging utang-utang,” kata Gundy.
(ded/ded)