Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah perusahaan Tiongkok disebut ingin membangun pabrik pengolahan dan pemurnian alias
smelter tembaga di Papua. Nama perusahaan itu disebut Non-Ferrous China Company (NFC).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, R. Sukhyar mengatakan Non-Ferrous China Company (NFC) adalah investor yang bakal digandeng pemerintah daerah Mimika, Papua, untuk membangun
smelter tersebut.
Tapi Sukhyar menegaskan, jika NFC ingin terlibat dalam proyek
smelter, perusahaan Tiongkok itu harus memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus.
“Jadi kewenangannya ada di bawah kementerian ESDM. Yang pasti mereka bukan IUI (Izin Usaha Industri),” ujar Sukhyar di Jakarta, Senin (2/3) kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sukhyar menerangkan, proyek
smelter tembaga di Papua akan memiliki kapasitas daya serap konsentrat 900 ribu ton per tahun. Rencananya, pasokan konsentratnya sendiri berasal dari hasil pertambangan yang dilakukan PT Freeport Indonesia di daerah Mimika.
Diperkirakan,
smelter yang sedianya akan dibangun pada 2019 mendatang tersebut akan menelan biaya investasi mencapai US$ 1 miliar atau berkisar Rp 12,5 triliun.
"Karena
someday produksi konsentrat Freeport bisa sampai 3 juta sampai 3,8 juta ton per tahun jadi selain ke PT Smelting dan smelter perusahaan di Gresik, sebagian konsentrat juga akan dikirim ke
smelter Papua," tutur Sukhyar.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan CNN Indonesia, NFC merupakan perusahaan industri pertambangan asal Tiongkok yang menggunakan teknologi Kanada di dalam pembangunan
smelter di sejumlah negara.
Dalam pengerjaan
smelter di Papua, NFC akan menggandeng salah satu bank investasi di Amerika Serikat, sebagai penyandang dana pembangunan.
Setelah proyek selesai, kepemilikan
smelter akan dilimpahkan ke bank tersebut. Adapun pembangunan
smelter di Papua membutuhkan waktu sampai 52 bulan dan digarap di atas lahan seluas 650 hektare di kawasan industri Mimika.
(ded/ded)