Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 2015 baru bergulir tiga bulan, namun pemerintah sudah memberikan sinyal mengibarkan bendera putih dalam mencapai target lifting minyak yang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) ditetapkan sebesar 825 ribu barel per hari (BPH).
Tadi malam, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro memperkirakan realisasi lifting minyak Indonesia tahun ini hanya akan menyentuh 800 ribu BPH atau hanya menutupi 96,96 persen dari target.
Tingginya biaya investasi yang harus dikeluarkan oleh kontraktor kontrak kerjasama minyak dan gas bumi (KKS migas) dalam menambah produksi sumur minyak tua dan lepas pantai yang dikelolanya di Indonesia, disebutnya sebagai penyebab utama tidak tercapainya target lifting.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perusahaan-perusahaan migas nasional maupun asing diyakini Bambang akan mengerem investasi di bidang eksplorasi dan produksi ditengah harga minyak dunia yang saat ini kembali melemah dibawah US$ 60 per barel setelah sebelumnya sempat naik tipis. Harga minyak Brent yang sering dijadikan harga acuan perdagangan minyak untuk perdagangan hari ini tercatat hanya US$ 53,43 per barel, sementara harga minyak WTI di angka yang lebih rendah yaitu US$ 43,46 per barel.
“Biaya untuk melakukan Enhanched Oil Recovery di sumur tua dan pengeboran lepas pantai itu biayanya sudah pasti mahal. Kalau minyak anteng di US$ 90 per barel masih oke bagi perusahaan minyak karena masih ada margin. Tetapi kalau di bawah US$ 60, tentu perusahaan akan berpikir perlu tambah produksi atau tidak nih? Perlu melanjutkan pengeboran lagi tidak nih?” kata Bambang.
Pesimisnya Menteri Keuangan tercermin dari delapan paket kebijakan yang diumumkan pemerintah pekan lalu guna meningkatkan daya saing industri dalam negeri, yang memiliki tujuan jangka panjang menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah. Tidak satupun dari paket kebijakan itu, yang menyediakan insentif bagi industri hulu migas nasional.
Sekadar mengingatkan, delapan paket tersebut adalah:
1. Pengenaan bea masuk anti dumping dan safeguard sementara untuk produk impor yang terindikasi dumping.
2. Insentif pajak perusahaan nasional yang mengekspor 30 persen produksinya.
3. Pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk industri galangan kapal.
4. Memangkas impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan meningkatkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN).
5. Insentif pajak bagi perusahaan asing yang tidak mengirim seluruh dividen ke perusahaan induknya di luar negeri.
6. Memberikan formula pajak yang lebih adil bagi perusahaan perkapalan anggota Asosiasi Perusahaan Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA).
7. Mendorong BUMN membentuk reasuransi dan terakhir,
8. Mewajibkan seluruh transaksi di Indonesia menggunakan rupiah.
Alasan Pemerintah Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Naryanto Wagimin menjelaskan alasan pemerintah yang sama sekali tidak memasukkan insentif bagi perusahaan migas anggota dari Indonesian Petroleum Association (IPA) dalam paket kebijakan tersebut tahun ini.
“Pertimbangannya adalah harga minyaknya lagi rendah. Percuma saja insentif diberikan untuk industri hulu migas, kalau itu tidak menjamin KKKS bisa meningkatkan produksi. Bisa kalah dua kali pemerintah. Sudah kasih insentif, tetapi target tidak juga tercapai,” tegas Naryanto ketika ditemui di kantornya.
Kementerian ESDM menurutnya juga tidak bisa memberikan sanksi jika KKKS tidak mencapai target yang sudah ditetapkan dalam prognosa lifting minyak yang disepakati di awal tahun. Sebab, rencana investasi dikembalikan kepada strategi bisnis yang dibuat oleh masing-masing KKKS saat harga sedang rendah seperti sekarang ini.
“Kami tidak bisa memaksa karena ini sudah bisnis. Satu-satunya yang bisa menjaga supaya mereka mengejar produksi sesuai target itu ya SKK Migas,” kata Naryanto.
Sementara itu Presiden IPA Craig Stewart mengaku asosiasi tidak ada masalah dengan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan insentif apapun bagi industri hulu migas dalam delapan paket kebijakan tersebut. Sebab menurutnya, ada kebijakan lain yang seharusnya bisa diambil pemerintah untuk membantu industri migas selain dengan memberikan insentif fiskal.
“Cara lainnya adalah dengan perbaikan birokrasi, pemerintah harus bisa mengambil keputusan cepat, menerbitkan perizinan dengan cepat, antara pemerintah pusat dan daerah harus sinkron, serta bagaimana caranya kami tidak dipersulit untuk melakukan kegiatan oleh masyarakat lokal di area kerja kami. Tidak heran kalau industri ini mengalami perlambatan,” kata Craig.
Craig mengaku dapat memahami jika investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan anggota IPA menurun drastis tahun ini seiring dengan pelemahan harga minyak dunia. Ekspatriat yang bekerja untuk Salamander Energy Pte itu menjelaskan adalah hal yang lumrah dilakukan oleh perusahaan migas untuk menunda kegiatan eksplorasi.
“Di saat harga sedang rendah, dan uang perusahaan diperketat. Tentu cara pertama yang dilakukan perusahaan migas adalah dengan menunda investasi khususnya eksplorasi,” ujarnya.
Dia mengaku setuju dengan apa yang dikatakan Menteri Keuangan bahwa target lifting 825 ribu BPH akan sulit untuk dicapai.
“Anda tahu berapa realisasi lifting sampai Februari kemarin? Di bawah 790 ribu BPH. Artinya apa? Di sisa tahun ini, harus ada lonjakan signifikan dari lifting minyak untuk bisa memenuhi target 825 ribu BPH. Itu sulit,” tegasnya.
Sebelumnya Lukman Mahfoedz, Board of Director IPA memperkirakan nilai investasi sektor hulu migas tahun ini akan turun sebesar 20 persen menjadi US$ 25,6 miliar dibandingkan proyeksi investasi 2014 sebesar US$ 32 miliar akibat rendahnya harga minyak yang diperkirakan akan berkepanjangan.
(gir/gir)