Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah memberlakukan
Letter of Credit (L/C) sebagai skema pembayaran ekspor komoditas tertentu pada April mendatang mendapat dukungan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai bisa membuat pengusaha ekspor mengalihkan komoditasnya ke proses hilirisasi dan menciptakan nilai tambah bagi komoditas asal Indonesia.
"Penerapan L/C ini kan tujuannya untuk memperbaiki pencatatan ekspor. Karena hal ini diterapkan untuk ekspor komoditas, maka harusnya hal ini bisa meng-encourage pelaku usaha untuk menyalurkan barangnya untuk proses hilirisasi ketimbang diekspor langsung," ujar Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi Kadin Suharyadi di Jakarta, Jumat (27/3).
Oleh karena itu jika penerapan L/C jadi dilaksanakan, dia menilai pemerintah harus memberi dukungan untuk menciptakan hilirisasi industri yang lebih kuat. Suharyadi menambahkan, proses hilirisasi bagi komoditas-komoditas yang termasuk dalam peraturan L/C masih belum optimal, sehingga tak heran apabila pengusaha yang bergerak di sektor-sektor tersebut menentang kebijakan L/C.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau misalkan sarana-sarana dan pendukung hilirisasi sempurna, pasti pengusaha-pengusaha yang bergerak di sektor yang terkena L/C tersebut tak akan ribut ketika kebijakan ini dilaksanakan. Sejauh ini masih belum sempurna, contohnya saja hilirisasi bagi produk
Crude Palm Oil (CPO) yang sampai sekarang masih sedikit dukungannya," ujarnya.
Meskipun menyampaikan hal tersebut, Suharyadi tak menyebutkan jenis dukungan yang dimaksud secara lebih detil. Namun menurut catatan CNN Indonesia, program hilirisasi CPO yang terkonsentrasi di Sei Mangkei, Sumatera Utara memang masih terhambat pengembangannya akibat minimnya pasokan gas bumi ke kawasan tersebut, sehingga kini masih hanya terdapat satu pelaku industri yang beroperasi yaitu PT Unilever Oleochemical Indonesia.
"Karena kurangnya dukungan hilirisasi ini, pengusaha merasa ekspor langsung lebih menguntungkan ketimbang dilakukan proses lebih lanjut. Makanya kebijakan L/C menimbulkan pro kontra, tapi Kadin sendiri menilai kebijakan ini nantinya bisa memaksa pemerintah untuk menyediakan dukungan penuh bagi hilirisasi," tambahnya.
Pengecualian L/CDia juga menambahkan bahwa merupakan sebuah kondisi yang wajar jika ada beberapa perusahaan yang mengajukan pengecualian L/C, terutama perusahaan-perusahaan skala besar yang proses hilirisasinya tidak ada di dalam negeri. Namun dia berpendapat bahwa seharusnya pengecualian ini diberikan batas waktu agar tak menciptakan perlakuan diskriminasi antar pelaku usaha.
"Wajar perusahaan-perusahaan besar ingin melakukan pengecualian L/C karena kan mereka pemain utama sehingga memiliki
bargaining power yang tinggi. Pemerintah boleh-boleh saja memberlakukan pengecualian, tapi harus dikasih batas waktu tertentu. Jangan sampai selamanya dikasih
priviledge pengecualian L/C," jelas Suharyadi.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, Kementerian Perdagangan melalui peraturan Menteri Perdagangan 04/M-DAG/PER/1/2015 mewajibkan ekspor CPO, batubara, mineral (termasuk timah), serta minyak dan gas bumi untuk melakukan ekspor dengan skema pembayaran L/C. Selain untuk kelengkapan catatan ekspor, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menilai bahwa peraturan tersebut dibuat untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam di Indonesia.
(gen)