Jakarta, CNN Indonesia -- Jelang diberlakukannya kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) sebesar 15 persen mulai 1 April 2015 esok, Kementerian Perdagangan menaikkan harga patokan ekspor (HPE) minyak kelapa sawit (CPO) periode April 2015 menjadi US$ 627 per metrik ton (MT). Angka tersebut naik 0,5 persen dibandingkan HPE Maret 2015.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Partogi Pangaribuan menjelaskan penetapan HPE April tersebut berdasarkan harga referensi CPO US$ 698,19 per MT yang naik sebesar USD 3,29 atau 0,47 persen dari periode bulan sebelumnya yaitu USD 694,90 per MT.
Seperti penetapan HPE sebelumnya, penetapan HPE produk pertanian dan kehutanan periode April 2015 dilakukan setelah pemerintah memperhatikan rekomendasi dan hasil rapat koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait, khususnya dalam menyikapi perkembangan harga komoditas, baik nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Peningkatan harga referensi dan HPE untuk produk CPO disebabkan oleh menguatnya harga internasional untuk kedua komoditas tersebut. Sementara untuk bea keluar CPO periode April tidak berubah, tetap 0 persen sama dengan Maret 2015,” ujar Partogi dikutip dari laman Kementerian Perdagangan, Selasa (31/3).
Partogi menjelaskan alasan pemerintah tidak mengenakan bea keluar untuk CPO adalah karena harga saat ini masih berada di bawah tingkat ambang batas pengenaan bea keluar di level USD 750. Sehingga pemerintah tidak mengenakan BK kepada perusahaan kelapa sawit.
”Rendahnya harga referensi dan HPE CPO saat ini disebabkan oleh masih lemahnya harga CPO internasional yang disebabkan oleh oversupply pasar internasional minyak nabati dunia, terutama oleh minyak nabati dari sumber lain sebagai kompetitor CPO,”
jelas Partogi.
Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mewajibkan seluruh perusahaan penjual solar atau bahan bakar minyak (BBM) sejenisnya untuk mencampurkan biodiesel sebanyak 15 persen atas produk yang dijualnya. Kewajiban tersebut tidak hanya berlaku bagi perusahaan penerima insentif biaya distribusi BBM penugasan tetapi juga perusahaan lain yang menjual BBM non PSO yang jika ditotal ada sebanyak 16 perusahaan.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmadja mengatakan pemerintah akan memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi mandatori biodiesel sebesar 15 persen tersebut. Sanksi yang diberikan mulai dari yang teringan berupa teguran tertulis sampai pencabutan izin usaha.
“Kalau ada yang melanggar, maka badan usaha akan diberikan teguran tertulis dan setiap mereka mau mengimpor BBM dari luar maka Direktorat Jenderal Migas tidak akan memberikan izin tersebut,” kata Wiratmadja.
Dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan mandatori, pemerintah menurutnya akan melakukan pemeriksaan secara acak di SPBU-SPBU yang ada di Indonesia. Selain itu juga mengecek ke tempat fasilitas blendingnya yang harus di lakukan di Indonesia. “Depo-depo penyimpanan juga dicek secara rutin,” kata Wiratmadja.
Pemberlakuan wajib penggunaan BBN 15 persen pada solar ini, diperkirakan akan menyerap produksi biodiesel dalam negeri sebesar 5,3 juta kiloliter (KL) atau setara 4,8 juta ton CPO. Kebijakan tersebut juga diyakini mampu menghasilkan penghematan devisa US$ 2,54 miliar atau setara Rp 31,71 triliun akibat berkurangnya jumlah solar yang diimpor.
Pemerintah sendiri menjamin ketersediaan CPO sebagai bahan baku biodiesel sangat mencukupi. Sebab pada 2014 lalu total produksi CPO mencapai 31 juta ton dengan pemakaian domestik sebesar 30 persen dari total produksi dan diperkirakan akan meningkat menjadi 33 juta ton pada 2015.
(gen)