Ada Kepentingan Jepang di Balik Proyek Cilamaya?

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Mar 2015 16:45 WIB
Rencana pemerintah membangun pelabuhan di Cilamaya yang mengacu hasil studi Japan for International Corporation Agency, menuai pro dan kontra.
Ilustrasi bongkar muat kapal kargo di pelabuhan. (Reuters/Stringer)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah membangun pelabuhan di Cilamaya, Jawa Barat, yang mengacu pada hasil studi Japan for International Corporation Agency (JICA), menuai pro dan kontra.

Kementerian Perhubungan didukung oleh Kementerian Perindustrian merupakan pihak-pihak yang berkeras proyek pelabuhan bongkar muat skala internasional itu harus berlanjut guna memangkas biaya logistik pelaku industri di sekitar kawasan. Sebaliknya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT Pertamina (Persero) punya kepentingan agar proyek tersebut gagal atau minimal digeser menjauh dari perairan Cilamaya yang selama ini menjadi area produksi minyak dan gas nasional.

Marwan Batubara, Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS), menilai semangat pemerintah memaksakan pembangunan Pelabuhan Cilamaya lebih mengutamakan kepentingan industri manufaktur ketimbang kesinambungan pasokan energi. Dia menduga ada intervensi Jepang dibalik rencana proyek tersebut mengingat ada JICA di balik studi kelayakan proyek dan banyak perusahaan Jepang yang bermarkas di Cikarang dan Karawang, Jawa Barat.
 
"Saya kira itu sangat jelas ini harus dibatalkan, di-review untuk relokasi," ujar Marwan saat diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (28/3).  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Baca juga: Pertamina dan Kemenhub Beda Pendapat Soal Pelabuhan Cilamaya

Seharusnya, kata Marwan, pemerintah selaku inisiator proyek Cilamaya tidak menggantungkan pendanaan dan studi kelayakan proyek kepada Jepang. Sebab, Jepang dengan konsep dagang sogo sosa-nya pasti punya kepentingan agar perusahaan-perusahaannya diuntungkan dengan berbagai cara.

"Jangan hanya serahkan ke JICA, yang mungkin di-hire dan kasih pinjaman karena kepentingan bisnisnya," tuturnya.

Kemitraan dengan Jepang, lanjut Marwan, tidak selalu lebih efisien dan menguntungkan. Mantan Direksi Indosat punya pengalaman membangun kabel serat optik bawah laut dari Jakarta-Singapura yang lebih murah 30 persen dibandingkan proyek serupa yang dikerjakan Jepang untuk rute Surabaya-Banjarmasin.

"Karena kita pakai kredit Jepang jadinya tidak bisa tidak dikendalikan  Jepang. Kita tidak bisa berperan agar tidak dimanfaatkan Jepang," tuturnya.

Bukan hanya faktor Jepang, lanjut Marwan, proyek Cilamaya perlu digagalkan karena dipastikan akan mengganggu proses produksi migas yang selama ini dilakukan oleh Pertamina. Dengan rata-rata produksi 3.000 barel per hari (bph), pasokan minyak dari Cilamaya menjadi penting di tengah kesulitan pemerintah merealisasikan target lifting di kisaran 800 ribu bph.

"Pemerintah memang menggeser 3 kilo meter dari lokasi awal mengikuti konsultan independen, tapi yang bayar konsultannya JICA. Ini kesalahan besar," tuturnya.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kata Marwan, seharusnya yang mengambil inisiatif perencanaan sejak awal. Koordinasi yang buruk di internal pemerintah disinyalir menyebabkan banyak rancangan proyek pembangunan sulit dieksekusi karena tumpang tindih ego sektoral.

Adolf Richard Tambunan, Direktur Pelabuhan & Pengerukan Kementerian Perhubungan, menjelaskan pihaknya telah mempertimbangkan berbagai dampak yang mungkin timbul dari pelaksanaan proyek ini. Belajar dari pengembangan pelabuhan bongkar muat di Houston, Amerika Serikat yang juga berada di atas pipa distribusi migas, Adolf memastikan semua risiko tersebut sudah diantisipasi.

"Kami tidak ingin zero sum game, satu hidup satu mati. Ini semata-mata kepentingan nasional, bukan hanya untuk Jepang atau kepentingan sektoral Kemenhub. Kami ingin win win solution," tuturnya.
 
Adolf menegaskan proyek Cilamaya akan dikembangkan tanpa mengandalkan pinjaman dari Jepang. Namun, dia mengakui ada hibah dari Jepang untuk mengembangkan studi kelaikan proyek.

"Tidak  ada komitmen apapun ke Jepang. Kami mendorong konsorsium nasional yang memang bisa karena Korea juga tertarik," katanya.  

I Gusti Nyoman Wiratmadja, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, mengakui ada tumpang tindih kepentingan pada proyek pelabuhan Cilamaya yang rencananya akan dibangun di wilayah kerja Pertamina Offshore North West Java (ONWJ). Sikap Kementerian ESDM, kata Nyoman, secara tegas mengutamakan keselamatan dan keberlanjutan proses produksi migas di kawasan tersebut.

"Karena di daerah yang akan dibangun pelabuhan Cilamaya ini akan melewati fasilitas produksi minyak. Bukan hanya pipa-pila distribusi, tetap ada lebih dari 250 platform di sana sehingga kalau dibangun pelabuhan di sana maka banyak yang harus dilakukan di sana," tuturnya.

Baca juga: Kementerian ESDM: Harga BBM Mungkin Naik Lagi Bulan Depan

Nyoman mengatakan selama ini kawasan Cilamaya memasok cukup besar gas untuk pembangkit listrik ke Jakarta. Kawasan tersebut juga menjadi pemasok gas utama untum pabrik PT Pupuk Kujang. Dia mengkhawatirkan jika proyek dilanjutkan maka akan terjadi krisis listrik di Jakarta selama sekitar dua bulan.

"Savety nomor satu buat kami. Kalau kawasan tersebut sibuk oleh arus kapal, maka wilayah ONWJ harus dibagi dua. Ibarat kampung dibelah dengan jalan tol sehingga antara kampung yang satu dengan yang lain tidak bisa lalu lalang," katanya.

Sikap Kementerian ESDM, lanjut Nyoman, secara tegas keberatan dengan proyek Cilamaya. Rekomendasi utama Kementerian ESDM adalah membatalkan proyek tersebut atau menggeser ke arah timur setelah melewati Kilang Balongan. (adt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER