Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah tumbuh 13 persen pada 2014, industri keramik nasional diprediksi stagnan atau bahkan berisiko turun pada tahun ini menyusul tingginya harga gas dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mencatat volume produksi keramik Indonesia pada tahun lalu sekitar 480 juta meter persegi (m2), dengan nilai omset mencapai Rp 30 triliun. Pencapaian tersebut meningkat sekitar 10 persen dibandingkan dengan prestasi 2013 yang sedikit lebih baik.
"Tahun ini sepertinya sulit tumbuh. Tadinya kami berharap (produksi) 500 juta m2 atau targetnya Rp 36 triliun, tapi agak sulit jadi kemungkinan sama dengan tahun lalu," ujar Ketua Asaki Elisa Sinaga di kantor Kementerian Perindustrian, Selasa (31/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Elisa menilai situasi pasar domestik tengah lesu dan memberatkan industri keramik untuk bisa tumbuh. Sejumlah upaya untuk mengalihkan penjualan ke pasar ekspor juga tidak mudah mengingat daya saing industri keramik nasional kalah jika dibandingkan dengan industri serupa asal negara-negara tetangga di kawasan.
"Pasar domestik nomor satu, tetapi harus bersaing dengan produk impor. Sementara ekspor belum bisa kompetisi karena kalah daya saing. ekspor kemungkinan masih bertahan di kisaran 11 persen," jelasnya.
Menurutnya, deindustrialisasi sudah hampir terjadi. Dengan kondisi pasar dalam negeri yang sedang turun, Elisa mengatakan mulai banyak industri yang memaksakan dirinya untuk membuka pasar di luar negeri. Namun, untuk bisa menggenjot ekspor dibutuhkan insentif dari pemerintah.
"Saya tidak bilang (minta) subsidi, tetapi minimal turunkan harga gas. gas," katanya menegaskan.
Puasa ProduksiAchmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), mengatakan industri pengguna gas saat ini sudah mulai 'puasa' produksi. Gejala penurunan produksi mulai terlihat seiring dengan menurunnya permintaan domestik dan semakin tingginya harga gas industri.
"Seperti industri keramik itu sudah turun 20-30 persen sekarang," katanya.
FIPGB mencatat harga gas industri yang dijual oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN ) dan PT Pertamina (Persero) saat ini sekitar US$ 9,3 per MMbtu. bahan bakar tersebut jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga gas di sejumlah negara Asean, seperti Singapura sekitar US$ 4-5 per MMbtu, Malaysia US$ 4,47 per MMbtu, Filipina US$ 5,43 per MMbtu dan Vietnam sekitar US$ 7,5 per MMbtu.
"Kondisi industri Indonesia rawan karena energi dan bahan baku naik harganya, daya saing produknya melemah ekspor terhambat," kata Achmad Safiun.
(ags/gen)