Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah terpukul oleh kenaikan upah buruh dan tarif tenaga listrik, industri pengguna gas kini dihadapkan pada biaya produksi yang melonjak akibat gejolak kurs. Untuk itu, Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) mengharapkan uluran tangan dari pemerintah berupa pemberian subsidi gas bagi industri.
"Kami minta penurunan harga gas bumi sebagai bahan baku karena selain untuk mengurangi beban produksi kita, harga liquified natural gas (LNG) kita jauh lebih mahal dibanding negara lainnya. Apalagi ditambah dengan depresiasi seperti ini makin mahal kita membeli gas bumi," ujar Ketua FIPGB Achmad Safiun kepada CNN Indonesia, Selasa (10/3).
Achmad Safiun menjelaskan depresiasi rupiah terhadap dolar AS membuat harga beli gas bumi, selaku komponen utama produksi, melonjak signifikan. Alhasil biaya produksi semakin meningkat setelah sebelumnya membengkak oleh kenaikan upah buruh dan tarif tenaga listrik di awal tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya industri yang menggunakan gas bumi sebagai bahan baku sangat rawan akan depresiasi mata uang. Selain karena dibeli menggunakan dollar, harga beli yang lebih mahal dibandingkan negara lain, juga proporsinya mencapai 40 hingga 80 persen di dalam struktur biaya produksi kami," tuturnya.
Menurutnya, harga LNG bagi industri saat ini sebesar US$ 17 - US$ 18 per MMBTU. Angka ini jauh lebih mahal dibandingkan harga LNG di Korea Selatan dan Jepang yang mencapai US$ 12,8 per MMBTU. Hal ini membuat industri berbasis gas bumi Indonesia kurang efisien dibandingkan dengan kompotetitor di luar negeri.
"UMP rata-rata naik sebesar 12,7 persen dibandingkan tahun lalu dan tarif dasar listrik bagi industri juga naik 38,9 persen dibanding tahun lalu. Mengingat beban yang cukup berat, kami inginkan pemerintah segera menurunkan harga gas bumi bagi produksi," katanya menegaskan.
Rekomendasi harga LNG yang diajukan oleh FIPGB maksimal sebesar US$ 8 per MMBTU mengingat harga jualnya di luar negeri mulai turun. Achmad mengatakan rekomendasi ini sudah ia sampaikan ke Kementerian Perindustrian dan Dewan Energi Nasional, tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari kedua lembaga itu.
"Di luar negeri seperti Malaysia dan Filipina harganya sudah US$ 4,5 per MMBTU. Maka dari itu, kami menginginkan pemerintah juga menurunkan harganya sesuai dengan harga luar agar kami makin tak terbebani," kata Achmad.
Achmad Safiun berharap depresiasi kurs tidak berlangsung lama agar tak semakin mempengaruhi beban produksi pelaku industri. "Kalau depresiasi terus menerus kan nantinya akan membebani cadangan devisa kita juga," tutur Achmad.
(ags)