Pusaka Benjina Resources, Isu Perbudakan dan Illegal Fishing

Agust Supriadi & Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Rabu, 08 Apr 2015 08:28 WIB
PT Pusaka Benjina Resources (PBR) mempekerjakan 1.128 ABK asing dari Thailand, Myanmar, Kamboja dan Laos.
Petugas menunjukkan bekas luka salah satu Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Maluku, Sabtu (4/4). Sebanyak 323 ABK WN Mynamar, Laos dan Kamboja diangkut menuju ke Tual dengan pengawalan KRI Pulau Rengat dan Kapal Pengawas Hiu Macan 004 sambil menunggu proses pemulangan oleh pihak Imigrasi. (ANTARA FOTO/Humas Kementerian Kelautan Perikanan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Benjina, desa mungil di Kepuluan Aru, Maluku mendadak terkenal di dunia. Bukan karena keindahan pantai atau pasir putihnya, melainkan isu perbudakan ratusan nelayan asing yang membuatnya santer dibicarakan. Puluhan makam warga negara asing yang tercecer tak beraturan menambah misteri  Desa Benjina.

Adalah PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang menjadi korporasi terduga pelaku kerja paksa di tanah Maluku itu. Pasalnya, Tim Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Illegal Fishing mendapati 322 anak buah kapal (ABK) asing terdampar di areal pabrik milik PBR dalam kondisi sangat memprihatinkan.

(Baca juga: Benjina, Kisah Perbudakan Ratusan Nelayan di Timur Indonesia)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agak sulit mengonfirmasi kebenaran isu tersebut. Site Manager PT Pusaka Benjina Resources, Herman Martino belum dapat dihubungi. Pesan singkat  yang dilayangkan CNN Indonesia pun tak dibalasnya.

PBR dikabarkan sebagai perusahaan Thailand yang berafiliasi dengan perusahaan lokal di Benjina. Izin usahanya di Indonesia masih sulit ditelusuri di daftar Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginformasikan manajemen PBR kerap berkantor di PT Wisma 99 Jl. Iskandarsyah Raya No. 99, Kebayoran Baru, Jakarta.
 
Reportase Associated Press (AP) berjudul “Are slaves catching the fish you buy?" mengawali terbongkarnya praktik kerja paksa nelayan di Indonesia. Berita itu pula yang memantik kemarahan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia langsung memerintahkan anak buahnya untuk turun menyelidiki kasus perbudakan tersebut. Bukan tanpa sebab Susi naik pitam, ia takut produk perikanan Indonesia diboikot dunia akibat kasus perbudakan.

Selain alasan isu kemanusiaan, dirinya juga tak ingin ada pembiaran dalam kasus ini mengingat Indonesia tunduk pada ketentuan Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang sangat mengharamkan sistem kerja paksa.

"Kalau paksaan dan menggunakan agen, itu human trafficking namanya. Kalau kita menganggap itu hal biasa ya kita bisa dikutuk dunia internasional," kata Susi beberapa waktu lalu.

Melalui proses penyelidikan secara bertahap, Susi mengatakan PBR memang kerap bermasalah. Mulai dari penggunaan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) yang kadaluwarsa hingga penggunaan ABK asing dalam operasinya.

Menurut Susi, perusahaan tersebut sengaja membangun kantornya di daerah terpencil dan sulit dijangkau sehingga sulit dilakukan pengawasan. Kapal-kapal perusahaan ini juga kerap menggunakan pelabuhan tikus, sehingga tidak melewati pelabuhan resmi yang dibangun pemerintah.

Selain itu, anak buah Susi juga menemukan 19 kapal dari PT PBR yang izinnya keluar setelah moratorium diberlakukan sejak 3 November 2014.  "Ini jelas melanggar aturan, " ujar dia.

Susi pun tak segan-segan untuk membekukan izin operasi kapal dan melarang PBR untuk melakukan ekspor karena telah melanggar banyak aturan. " Akan kami bekukan izinnya, " ujar Susi.

Pernyataan Ketua Tim Satuan Tugas Anti Illegal Fishing Mas Achmad Santosa menguatkan dugaan PBR memang bermasalah. Pria yang kerap disapa Ota itu mengatakan, selain kasus perbudakan, PBR juga melanggar ketentuan Undang-undang perikanan.

Pertama, PBR diduga memalsukan dokumen kapal berupa SIPI dan SIKPI. Kedua, adanya penggunaan ABK asing yang jelas melanggar undang-undang. Ketiga, adanya temuan Unit Pengelolaan Ikan (UPI) yang tidak berfungsi, lalu adanya ikan tangkapan di palka kapal, "Namun perbudakan itu sudah kejahatan kemanusiaan," kata Ota Selasa (7/4).

Menurut Ota, PBR telah mempekerjakan 1.128 ABK asing dari 4 negara. Ia merinci dari total tersebut, 745 orang ABK merupakan warga negara Thailand, 316 ABK warga negara Myanmar, 58 warga negara Kamboja dan 8 orang berkewarganegaraan Laos.

Saat ini,  322 orang ABK susah dievakuasi dari Benjina ke pelabuhan Tual Maluku untuk diperiksa lebih lanjut dan dipulangkan kembali ke asalnya. (ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER