Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) tengah menjajaki kerjasama transaksi lindung nilai atau
hedging dengan PT Bank Rakyat Indonesia TBK (BRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Hal ini dilakukan untuk menyiasati tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang dinilai akan memberikan risiko rugi kurs pada sisi keuangan perseroan.
"Benar kalau kami sedang bicara dengan beberapa bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mengenai
hedging. Ini untuk memproteksi Pertamina dari dampak dari penguatan dolar. Tapi sampai saat ini belum diputuskan dengan siapa karena kami masih menghitung
cost yang dibutuhkan untuk
hedging," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro di Jakarta, Jumat (17/4).
Wianda mengungkapkan, dilakukannya
hedging oleh Pertamina tak lepas dari besarnya kebutuhannya dolar yang diperlukan manajemen untuk mengimpor minyak dan gas (migas). Tak ayal, sejumlah pihak menilai bahwa Pertamina merupakan salah satu perusahaan migas yang rentan terhadap dampak depresiasi rupiah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebutuhan dolar Pertamina untuk impor migas per harinya itu berkisar US$ 60 juta sampai US$ 70 juta. Untuk mengurangi risiko tadi, kami sedang melakukan pembicaraan mengenai
hedging dengan sejumlah bank BUMN," tutur perempuan berparas cantik tersebut.
Selain dengan beberapa bank, Wianda bilang, pembicaraan mengenai skema
hedging juga dibahas bersama sejumlah instansi. Diantaranya Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI) hingga Kementerian BUMN selaku instansi yang menaungi perseroan.
"Soalnya kalau melaksanakan
hedging, selain sisi finansial Pertamina juga harus me-
review sisi
legalnya. Jadi kami akan terus berkoordinasi dengan pemerintah," kata Wianda.
Sebelumnya Menteri BUMN Rini Soemarno mendorong agar setiap perusahaan pelat merah yang sering bertransaksi dengan mata uang asing dalam kegiatan operasionalnya untuk melakukan
hedging guna terhindar dari risiko rugi kurs. Tidak hanya untuk transaksi berdenominasi dolar, namun juga yen Jepang.
“Saat ini akibat masih banyak BUMN yang belum melakukan lindung nilai atas utang valasnya. Ini tentu menimbulkan risiko pembengkakan pembayaran utang valas kala rupiah melemah. Lindung nilai itu bagian dari kebijakan untuk keuangan, sehingga BUMN sekarang mulai diminta melakukan lindung nilai," katanya.
Untuk diketahui sampai semester I 2014 lalu, Pertamina tercatat membukukan laba komprehensif yang diatribusikan kepada pemegang saham sebesar US$ 1,13 miliar. Turun 24,16 persen dibandingkan perolehan laba bersih semester I 2013 sebesar US$ 1,49 miliar.
Meskipun Pertamina berhasil membukukan pendapatan sebesar US$ 36,73 miliar, naik 6,03 persen dibandingkan pendapatan semester I 2013 sebesar US$ 34,64 miliar namun beban usaha perseroan juga membengkak.
Pertamina tercatat menghabiskan biaya operasional US$ 33,23 miliar sepanjang semester I 2014 atau naik 6,5 persen dibandingkan periode yang sama di 2013 sebesar US$ 31,2 miliar.
(gen)