Diprotes Jepang, Pemerintah Hapus Syarat Sarjana Bagi Ekspat

Agust Supriadi, Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Senin, 20 Apr 2015 14:00 WIB
Pemerintah akan menghapus persyaratan wajib sarjana bagi tenaga kerja asing menyusul komplain dari para investor Jepang.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil di ajang World Economic Forum di Jakarta. (CNN Indonesia/Reuters/Beawiharta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah akan menghapus persyaratan wajib sarjana bagi tenaga kerja asing menyusul komplain dari para investor Jepang. Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintahan Joko Widodo juga menjanjikan penyederhanaan proses pengurusan visa kerja bagi para ekspatriat.

"Beberapa investor Jepang komplain tenaga expert mereka yang datang ke Indonesia harus S1. Itu kebijakan Kementerian Tenaga Kerja. Tapi karena banyak dari mereka yang tidak punya gelar (Sarjana) maka sulit masuk ke Indonesia. Presiden sudah merespons dan minta ini harus diubah," katanya di sela acara World Economic Forum (WEF) 2015 di Hotel Shangrila, Jakarta, Senin (20/4).

ofyan mengatakan kebijakan pemerintah Jepang lebih lunak soal ketenagakerjaan dengan tidak mempersyaratkan gelar sarjana bagi tenaga kerja asing. Selain itu, proses pengurusan visa kerja di Jepang juga lebih mudah dan cepat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Misalnya ada pabrik shutdown dan butuh expert segera (untuk memperbaiki), mungkin mereka hanya kerja dua hari tetapi urus visa lama bisa 2-3 minggu. Hal seperti ini tidak boleh lagi terjadi," kata Sofyan.

Untuk mendorong pertumbuhan manufaktur, lanjut Sofyan, pemerintah juga telah menyediakan banyak insentif fiskal dan non-fiskal. Fasilitas yang disediakan antara lain berupa keringanan pajak (tax allowance), pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday), dan menghapus hambatan-hambatan proses investasi seperti kendala infrastruktur dan elektrifikasi.

"Untuk pengembang kawasan industri kami juga akan memberikan banyak insentif. Pemerintah akan siap membangun rumah, fasilitas sekolah dan kesehatan sehingga beban tenaga kerja jadi berkurang," ujarnya.

Mantan Menteri BUMN ini menilai Indonesia cukup lama terlena oleh booming harga komoditas dan pelemahan dolar AS sehingga tidak fokus mengembangkan manufaktur. Hal ini tercermin dari kontribusi manufaktur terhadap PDB yang semakin berkurang akibat ekonomi domestik terlalu mengandalkan sumber daya alam sebagai produk utama ekspor.

"Saat ini kesempatan bagus bagi kita mengembangkan manufaktur, mengingat ongkos produksi di Tiongkok lebih mahal," katanya.

WEF 2015, kata Sofyan, menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk menjelaskan posisi pemerintah dan keunggulan ekonomi Indonesia kepada ratusan pemimpin perusahaan dunia. Pada era sebelumnya, kata Sofyan, relatif kurang komunikatif terhadap dunia internasional untuk menjelaskan potensi-potensi lokal sehingga banyak investor memilih lokasi lain seperti India sebagai destinasi modal. (ags/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER