Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum DPP Realestate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan upaya pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan (PPh 22) untuk apartemen mewah akan mempengaruhi pertumbuhan penjualan properti di Indonesia. Menurut catatan REI, pajak tersebut akan mengganggu pola konsumsi konsumen yang rata-rata tinggal di kota besar.
"Pajak itu akan mengganggu psikologis konsumen kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, Semarang, Palembang," ujar Eddy di Jakarta, Jumat (8/5).
Hal itu terkait Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, aturan tersebut menurunkan acuan harga jual atau threshold atas hunian kelas premium yang terkena PPh 22 menjadi Rp 5 miliar dari nilai sebelumnya Rp 10 miliar.
Luas bangunan yang terkena PPh 22 berdasarkan aturan baru, jauh lebih kecil dibandingkan aturan sebelumnya yaitu 500 meter persegi untuk rumah tapak dan 400 meter persegi untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya.
Mencermati situasi tersebut, menurut Eddy, DPP REI mengusulkan sejumlah langkah yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak bagi sektor industri properti yakni pemerintah dapat mengakomodasi transaksi REIT (Real Estate Investment Trust).
"Kebijakan ini bertujuan mendatangkan investor dan dana segar yang cukup besar, sehingga pada akhirnya mampu menambah penerimaan pajak dari sektor properti," katanya.
Lalu REI juga mengusulkan pemerintah menyasar pajak kepemilikan properti bagi warga negara asing (WNA). Ia mengatakan selama ini negara-negara lain bisa memanfaatkan properti sebagai sumber pendapatan negara yang cukup besar bagi negara.
"Properti di Indonesia cukup diminati oleh WNA dan kalangan ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Pemerintah dapat membuat kebijakan guna mematok harga jual minimal unit properti yang boleh dibeli WNA dan besaran pajak yang lebih besar untuk dibebankan kepada konsumen properti dari kalangan WNA," kata Eddy.
Kendati demikian, Eddy mengaku REI dan segenap pelaku industri properti menyadari pentingnya kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Namun, penerapan target penerimaan negara itu tentunya jangan sampai justru melemahkan sektor properti.
Sebab, kata dia, kalangan pengembang sudah merasakan adanya perlambatan pertumbuhan penjualan pada 2014 lalu, dan kemungkinan akan terus berlanjut pada tahun ini.
"Target pertumbuhan penjualan 10 persen tahun ini. Kalau semua ini ada perhatian dari pemerintah itu pasti akan tercapai," ujarnya.
(gir/ded)