Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan-perusahaan pengembang yang tergabung dalam Realestat Indonesia (REI) meminta pemerintah untuk dapat membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
Aturan yang menurunkan acuan harga jual atau
threshold atas hunian kelas premium yang terkena PPh pasal 22 menjadi Rp 5 miliar dari sebelumnya Rp 10 miliar tersebut dinilai memberatkan penjualan anggota REI.
Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi dan Pengembangan Usaha REI Theresia Rustandi menyebut momentum diterbitkannya aturan pada 30 April 2015 usai diteken Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro sangat tidak tepat. Sebab menurutnya sebagian besar perusahaan pengembang mengalami penurunan penjualan sepanjang Januari-Maret 2015 akibat daya beli masyarakat yang rendah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sepanjang tiga bulan pertama kondisi perekonomian sedang turun dan langsung berdampak ke kinerja pengembang. Indikatornya lihat saja kinerja kuartal I emiten properti, seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan aturan baru yang akan berdampak negatif bagi industri,” kata Theresia ketika dihubungi, Jumat (8/5).
Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk tersebut menambahkan, diturunkannya treshold PPh 22 menjadi Rp 5 miliar dipastikan akan membuat industri properti terpukul akibat harga jual hunian yang dipasarkannya semakin tinggi.
Menurut Theresia lebih bijak jika pemerintah justru menerbitkan kebijakan yang mempermudah industri properti menghasilkan lebih banyak hunian untuk segala segmen masyarakat.
“Kalau pasokan lebih banyak diserap pasar, otomatis penerimaan pajak akan naik dari Pajak Penghasilan (PPh), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Jadi ada pendapatan pajak lain yang diperoleh disamping hanya mengandalkan pajak barang mewah,” tegasnya.
30 Hari untuk BatalkanTheresia meminta pemerintah untuk mengkaji kembali diberlakukannya PMK Nomor 90 tahun 2015 tersebut. Sebab, kebijakan itu tidak hanya akan merugikan pengusaha tetapi juga berpotensi mengurangi pendapatan negara dari pajak.
“Pemerintah tidak bisa jalan sendirian seperti itu, tentu harus lihat kondisi ekonomi makro dan mikro. Apakah kebijakan yang dikeluarkannya inline dengan kondisi saat ini. Kalau kontra ya sebaiknya ditunda atau dibatalkan. Masih ada waktu sebulan, sebab aturan tersebut berlaku setelah sebulan diundangkan,” kata Theresia.
PMK Nomor 90/PMK.03/2015 yang salinannya diperoleh
CNN Indonesia menyebutkan Kementerian Keuangan menurunkan harga acuan atau
treshold, harga minimal hunian mewah yang terkena PPh 22 dari sebelumnya Rp 10 miliar untuk rumah beserta tanah, apartemen, kondominium, dan sejenisnya menjadi Rp 5 miliar saja.
Angka ini lebih tinggi dibandingkan wacana Kementerian Keuangan sebelumnya yang akan mengenakan PPh 22 untuk hunian mewah berharga Rp 2 miliar ke atas.
Selain menggunakan acuan harga jual, Bambang juga menetapkan pengenaan PPh 22 untuk hunian mewah berdasarkan luas bangunan.
“Berdasarkan harga atau luas bangunan yaitu lebih dari 400 meter persegi untuk rumah tapak, dan lebih dari 150 meter persegi untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya,” ujar Bambang, dikutip dari aturan tersebut.
Luas bangunan yang terkena PPh 22 berdasarkan aturan baru, jauh lebih kecil dibandingkan aturan sebelumnya yaitu 500 meter persegi untuk rumah tapak dan 400 meter persegi untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya.
(Baca juga:
Perluas Objek Pajak, Motor Gede Kena PPh 22)
(gir/gir)