Jakarta, CNN Indonesia -- Mimpi Pemerintahan Joko Widodo untuk ikut mengendalikan harga emas hitam di bursa global dengan mewacanakan kembali masuk Organisasi Neagra-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) ditanggapi pesimis oleh Kurtubi, Anggota Komisi VII DPR yang membidangi persoalan energi.
Menurutnya, dengan selisih minus ekspor dan impor yang cukup besar saat ini, Indonesia belum memenuhi syarat keanggotaan OPEC.
"Mungkin 10 tahun lagi Indonesia bisa gabung OPEC. Itu pun kalau pemerintah serius membenahi sistem dan regulasi yang selama ini menghambat eksplorasi migas," jelasnya kepada CNN Indonesia dari Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (12/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan pengamat energi tersebut mengungkapkan dari estimasi kebutuhan konsumsi minyak mentah dalam negeri sekitar 1,6 juta hingga 1,7 juta barel per hari (bph), Indonesia saat ini hanya mampu memproduksi sekitar 750 ribu bph. Untuk menutup defisit minyak tersebut, Indonesia terpaksa harus mengimpor minyak dalam jumlah yang sangat signifikan setiap tahunnya.
"Rata-rata impor migas kita itu sekitar US$40-US$50 miliar per tahun," tuturnya.
(Baca juga:
Sofyan Djalil: Indonesia Harus Punya Hak Bicara di OPEC)
Kurtubi menilai wacana keanggotaan OPEC sebenarnya ide yang bagus bagi Indonesia untuk bisa ikut mengendalikan harga dan kuota produksi minyak dunia. Selain bisa mengembalikan kehormatan Indonesia di mata publik internasional, Indonesia juga bisa menyuarakan ide sekaligus mendapatkan informasi rahasia soal peta politik minyak dunia.
"Memang betul kita pengekspor minyak, tetapi jumlahnya kecil sekali dan tidak memenuhi syarat. Mungkin sebagai peninjau boleh-boleh saja, tapi tidak bisa ikut konferensi negara-negara yang punya hak suara di OPEC," tuturnya.
Untuk bisa dihormati dan disejajarkan dengan negara-negara produsen minyak, Kurtubi menganjurkan pemerintah melakukan langkah agresif untuk bisa meningkatkan produksi atau lifting minyak secara signifikan. Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan simplifikasi berbagai regulasi yang selama ini kerap menghambat investasi
eksplorasi.
"Segera ubah undang-undang yang menghambat investasi eksplorasi. sistem dan uu skrg, uu migas, bersifat menghambat eksplorasi," katanya.
(Baca juga:
Pemerintah Wacanakan Indonesia Gabung OPEC Lagi)
Apabila melihat konstelasi politik minyak dunia, Kurtubi meyakini harga minyak mentah di pasar internasional masih akan rendah sampai ada kesepakatan penurunan kuota produksi oleh OPEC. "Saat ini (negara-negara penghasil minyak) belum seragam kepentingannya, masih campur baur dengan politik internasional. Karena memang minyak masih jadi politik luar negeri,"
(ags)