Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan audit asal Amerika Serikat PricewaterhouseCoopers (PwC) telah menyelesaikan Survei Perbankan Indonesia 2015 yang menunjukkan para pemimpin industri perbankan masih memiliki gambaran positif tentang daya tarik iklim usaha, dengan memperhatikan beberapa tantangan signifikan.
Tantangan utama yang dihadapi pada tahun ini menurut responden adalah perlunya mengurangi
cost of funds, perlunya mengembangkan sumber pendapatan baru seiring melambatnya permintaan produk pinjaman, dan perlunya mengatur pengelolaan manajemen risiko dan kerangka kerja kepatuhan terhadap peraturan-peraturan yang makin kompleks.
Kekhawatiran utama responden mencakup pertumbuhan penyaluran kredit yang relatif melambat disertai dengan meningkatnya kekhawatiran akan kualitas aset pinjaman bank.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mayoritas bankir memperkirakan pertumbuhan kredit di 2015 antara 10-20 persen," ujar Jusuf Wibisana, Financial Services Partner PwC saat memaparkan hasil surveinya di Jakarta, Selasa (19/5).
Bank daerah, syariah dan bank BUMN memandang pertumbuhan kredit di segmen UKM, retail, dan konsumer adalah kunci untuk mengejar target pertumbuhan di 2015. Sementara bank asing dan bank
joint venture lebih berfokus pada pertumbuhan kredit korporasi.
Survei tersebut diikuti oleh 64 eksekutif perbankan senior di Indonesia. Lebih dari 90 persen responden adalah CEO, Wakil CEO atau anggota Dewan Direksi maupun Komisaris di bank-bank BUMN, Bank Syariah, Bank Daerah, Bank Asing, Bank Joint Ventures dan lain-lain. Secara kolektif mereka mewakili 76 persen aset perbankan. Kuesioner dilengkapi antara Desember 2014 dan Januari 2015.
Kurs Tinggi dan Kredit MacetPwC juga melihat para responden memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 12 ribu hingga Rp 13 ribu per dolar Amerika Serikat selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Serta suku bunga Bank Indonesia yang akan terus meningkat selama setahun kedepan.
"Kedua hal itu bukan berita bagus bagi masyarakat," kata Jusuf.
Sementara sekitar separuh dari para responden mempersiapkan diri untuk menghadapi meningkatnya kredit macet (
non performing loan/NPL) sepanjang 2015. Hal itu memicu bank untuk mengembangkan lebih banyak jasa berbasis
fee sebagai upaya menggantikan pertumbuhan dan kualitas pinjaman yang terus menurun.