Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika krisis moneter menghancurkan ekonomi Indonesia pada 1997, Soeharto sempat berpikir untuk mengakhiri kekuasaannya. Kepada orang-orang terdekatnya, niat itu beberapa kali disampaikan Presiden Republik Indonesia kedua itu.
"Saya sudah tua, ompong, dan peot. Saya tidak mau maju lagi," ujar Soeharto seperti ditirukan Fuad Bawazier kepada CNN Indonesia, Rabu (20/5) malam.
"Bapak jangan
tinggal glanggang colong playu, jangan pergi ketika kondisi krisis," bisikan itu menggagalkan niat Soeharto untuk
lengser keprabon.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tinggal glanggang colong playu adalah peribahasa Jawa yang berarti lari dari masalah atau tanggung jawab.
Para pembisik itu adalah para pejabat tinggi dan politisi yang sudah bertahun-tahun dipercaya Soeharto. Salah satunya Mantan Menteri Penerangan Harmoko.
"Sebagai seorang jenderal besar, merasa ditantang begitu ya lanjut," kata Fuad Bawazier.
Singkat cerita, Soeharto maju lagi pada Pemilu 1997 dan terpilih kembali untuk kelima kalinya sebagai presiden pada Maret 1998. Sementara Harmoko berpindah kantor ke Senayan setelah menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Baru berjalan dua bulan pemerintahan baru Soeharto, kondisi ekonomi semakin memburuk. Resep yang ditawarkan International Monetary Fund (IMF) ternyata tak ampuh mengobati penyakit ekonomi yang semakin kronis. Pemburukan ekonomi kemudian memicu gejolak sosial di masyarakat.
Dua Muka HarmokoTak hanya masyarakat yang gerah dengan kekuasaan Soeharto selama 32 tahun, sejumlah pembisiknya pun berpindah haluan. Harmoko disebut Fuad Bawazier sebagai salah satu tokoh pembisik yang meminta Sang Jenderal menanggalkan jabatannya lebih cepat dari seharusnya.
"Harmoko selaku Ketua MPR waktu itu mengatakan, sebaiknya bapak mundur. Ya sudah," tutur Fuad.
Posisi Soeharto semakin terjepit ketika 14 menteri Kabinet Pembangunan VII menolak melanjutkan masa tugasnya. Fuad menyebut Ginandjar Kartasasmita yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan juga Kepala Bappenas sebagai inisiatornya.
(Baca juga:
Tiga Hari Terakhir Pembeda Loyalitas Para Menteri Soeharto)
Di tengah tekanan publik yang begitu kuat, Soeharto mulai tak nyaman berlama-lama di Istana Negara. Senin, 18 Mei 1998, dia memilih berkantor di kediamannya, Jl. Cendana Nomor 6, 8, dan 10 Menteng, Jakarta Pusat.
Di rumah megah itu, Soeharto pada akhirnya merancang sendiri skenario pengunduran dirinya. Setelah mendapat kepastian BJ Habibie sanggup melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan, Soeharto pun secara resmi menyatakan mundur pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB.
(gen)