Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan punya cerita tentang dugaan peran eks Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa di balik lahirnya kebijakan ekspor tambang mineral dan batu bara yang berlaku sejak 2014.
Dia bercerita, semua bermula saat kunjungan delegasi perusahaan alumunium Rusia, Rusal, ke kantor Menko Perekonomian pada 19 November 2013.
Kedatangan produsen alumunium terbesar di dunia itu ke Indonesia terjadi saat sahamnya anjlok di bursa efek London dan Hong Kong. Sementara kompetitor Rusal di Tiongkok semakin merajalela di pasar alumunium dunia setelah bertahun-tahun mendapatkan pasokan bauksit dari indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusal pada 2012 mencatatkan utang hingga US$ 10 miliar. Untuk menghentikan dominasi Tiongkok dan mengembalikan kesehatan neracanya, Erry menduga Rusia menggunakan Indonesia sebagai alat menghentikan pasokan ekspor bahan baku ke Negeri Tirai Bambu.
Pada akhir 2013, kata Erry, pemerintah, Kadin, dan APB3I tengah menggodok program hilirisasi sektor tambang. Program tersebut diterjemahkan dalam draft Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, yang isinya antara lain tetap memberikan izin ekspor bagi perusahaan tambang minerba yang serius membangun smelter atau punya cadangan yang cukup.
"Waktu itu draft PP-nya sudah benar dan sesuai arahan rapat di kantor Menko (Perekonomian) pada 21 Oktober 2013, sudah jelas jangan ada PHK dan penurunan devisa," kata Erry kepada CNN Indonesia, Selasa (25/5).
Selang beberapa hari setelah kedatangan Rusal, Hatta Rajasa pada 5 Desember 2013 menyatakan di media massa bahwa Rancangan PP yang dibahas bersama Kadin Indonesia dan APB3I itu dibatalkan.
Secara otomatis perlu dibuat lagi PP baru dan aturan pelaksananya berupa Peraturan Menteri ESDM.
Lalu pada 6 Januari 2014, kata Erry lagi, APB3I dan Kadin diundang untuk rapat di kantor Kementerian ESDM. Pada saat itu hadir perwakilan dari Balitbang ESDM, LIPI, dan BPPT. Sedangkan Dirjen Minerba dan perwakilan kantor Menko Perekonomian tak hadir.
"Rapat tersebut menyepakati batas kandungan mineral yang boleh diekspor. Untuk bauksit itu boleh diekspor setelah diolah atau kandungannya naik menjadi 45 persen. Berita acaranya ditandatangani oleh asoasi, Kadin, BPPT, LIPI, dan Balitbang Kementerian ESDM," katanya.
Karena Dirjen Minerba tak hadir, maka hasil rapat tersebut tak bisa langsung difinalisasi, melainkan menunggu persetujuan Dirjen Minerba saat itu, R. Sukhyar. “Lalu pada 8 Januari 2014 kami diundang kembali rapat dan dikatakan hasil kemarin dianulir," ucap Erry.
Awalnya, kata Erry, pihak Balitbang ESDM tutup mulut soal alasan dan siapa yang membatalkan kesepakatan tersebut. Setelah didesak oleh Erry, pejabat Balitbang mengungkapkan aktornya berada di kantor Menko Perekonomian.
"Saya dengar orang Balitbang itu dimaki-maki Sukhyar karena membocorkannya,” kata Erry. “Hebatnya Indonesia dalam hitungan jam bikin PP. Karena pada tanggal 1 Januari 2014 PP itu belum jadi dan harusnya sudah keluar 12 Januari," tuturnya.
Kepentingan RusiaErry Sofyan mencatat Indonesia baru memulai penambangan mineral bauksit pada 2003. Saat itu Rusia adalah pemasok alumunium terbesar di dunia setelah Tiongkok.
Pada 2005, menurut Erry, Tiongkok masuk ke Indonesia untuk mendapatkan pasokan bauksit sebagai bahan baku aluminium. Sejak itu Tiongkok melesat di bursa dunia dan Rusia mulai resah karena sahamnya anjlok di bursa London dan Hong Kong.
Ketika terjadi
booming harga komoditas pada 2007, Rusal mengikuti jejak Tiongkok dengan bermitra dengan PT Antam Tbk. Rusal dan BUMN tambang itu berkomitmen membangun industri pengolahan. Langkah ini cukup membantu meredam kejatuhan saham Rusal semakin dalam.
Lima tahun berjalan, hingga 2012, Tiongkok semakin agresif dan penetrasinya tak terbendung. Rusal, menurut Erry, kelabakan karena utangnya tembus US$ 10 miliar saat itu.
"Akhirnya Rusal mengupayakan bagaimana memotong jalur ekspor bauksit ke Tiongkok dan semua lewat kebijakan Indonesia," kata Erry.
Sukhyar MembantahDikonfirmasi mengenai cerita ini, eks Dirjen Minerba R. Sukhyar membantah Hatta ada di balik Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Sukhyar menegaskan dirinyalah inisiator peraturan tersebut. “Pak Hatta sama sekali tidak terlibat dalam perumusan aturan larangan bauksit karena Permen 1 tahun 2014 itu karya saya dan tim teknik ESDM. Jadi salah besar itu,” ujar Sukhyar, di Jakarta, Senin (25/5).
Sedangkan Hatta sendiri tak merespons upaya konfirmasi yang dilakukan CNN Indonesia. Panggilan telepon tak dijawab dan pesan singkat yang dikirimkan CNN Indonesia kepada politikus PAN itu tak dibalas.
(ags/ded)