Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Energi Nasional (DEN) menyatakan tengah menyusun sejumlah studi dan kajian terkait arah kebijakan politik luar negeri Indonesia khususnya di sektor energi. Andang Bachtiar, anggota DEN mengungkapkan kajian yang ditargetkan selesai akhir tahun itu diharapkan bisa menjadi strategi Pemerintah Indonesia dalam mengamankan kebutuhan energi dalam negeri untuk beberapa tahun ke depan.
“Salah satunya bagiamana kita secara strategis menentukan dari mana saja sumber-sumber minyak dan gas (migas) ke depan. Ini belum menjadi
framework yang besar karena kita memang belum punya. Padahal negara-negara tetangga sudah memulainya,” ujar Andang saat ditemui CNN Indonesia di kantornya, Jakarta, Senin (25/5).
Andang mengungkapkan, adanya kajian untuk menentukan arah kebijakan sangat strategis ini tak lepas dari tertinggalnya Indonesia dari beberapa negara tetangga yang diketahui sudah secara masif mengakuisisi blok migas di negara lain. Satu diantaranya Tiongkok yang telah mengelola sejumlah wilayah kerja (WK) migas di negara-negara Asean seperti Indonesia dan Malaysia, hingga Aljazair di benua Afrika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal yang sama juga dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Malaysia dan Thailand yang diketahui telah memiliki banyak hak partisipasi atau
participating interest (PI) atas WK Migas di Indonesia. Berangkat dari fenomena ini, pria yang juga merupakan Ketua Komite Eksplorasi Nasional itu berharap pemerintah bisa secara optimal mendorong PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan negara tatkala melakukan akuisisi blok migas di luar negeri.
“Yang saya lihat pemerintah Tiongkok, Malaysia, hingga Thailand sangat mendukung BUMN-nya untuk terus berekspansi. Kalau kita, belum sebesar mereka. Ini yang disayangkan padahal kebutuhan migas kita sudah besar dan terus meningkat,” ujarnya.
Akuisis Blok AseanMeski enggan merinci kajiannya, Andang bilang DEN bakal merekomendasikan sejumlah usulan strategis kepada pemerintah demi mendorong Pertamina melakukan pembelian kepemilikan WK Migas di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Timor-Timur, Vietnam, hingga Myanmar, dan Papua Nugini.
Selain meningkatkan performa dan pengalaman perusahaan, katanya hal ini juga bertujuan untuk meminimalisir biaya pengiriman minyak.
“Prinsipnya semakin dekat negaranya (penjual), biaya pengirimannya juga akan semakin kecil. Plus, dengan kajian ini nantinya kita juga akan tahu pasokan dari negara ini berapa, kalau dari negara itu berapa,” ujar Andang.
Di kesempatan berbeda, pengamat energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyambut baik rencana DEN yang akan merilis beberapa rekomendasi guna mengamankan pasokan energi dalam negeri. Akan tetapi, Komaidi memberi sejumlah catatan agar rekomendasi DEN bisa dilaksanakan secara optimal demi mendatangkan nilai positif bagi negara atau Pertamina.
Salah satunya mengenai penentuan negara mana saja yang memiliki cadangan migas besar, namun dengan kendala ekonomi maupun ekonomi yang paling kecil.
“Karena bagaimana pun juga, setiap negara memiliki plus-minus soal variabel tadi. Kalau saya melihat yang cukup prospektif masih di negara kawasan Timur-Tengah dan Amerika Selatan,” ujarnya.
Sebelumnya Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengungkapkan rendahnya harga minyak dunia membuat manajemen perusahaan menahan sejumlah rencana ekspansi yang sedianya akan dijalankan sepanjang tahun ini. Salah satunya adalah menutup pintu bagi rencana akuisisi tambahan blok migas di luar negeri. (Baca:
Pertamina Tutup Peluang Akuisisi Blok Migas di Luar Negeri)
“Kami akan lakukan sampai keuangan Pertamina lebih baik, karena pada saat yang bersamaan kami juga mempersiapkan diri untuk mengambil alih aset hulu di domestik yang cukup besar seperti Blok Mahakam,” kata Arief.
Tidak dilanjutkannya rencana mengakuisisi sejumlah blok migas di luar negeri menurut Arief disebabkan oleh alokasi belanja modal perseroan yang sudah dikurangi dari rencana awal US$ 7 miliar menjadi US$ 4,4 miliar atau sekitar 40 persen.
Sementara untuk melanjutkan pengelolaan dan pengembangan Mahakam dari Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation saja, manajemen Pertamina membutuhkan sekitar US$ 2,5 miliar.
“Saat ini kondisi keuangan Pertamina masih cukup bagus, tapi kami harus siap dengan kondisi rendah harga minyak yang mungkin akan berlangsung dua sampai tiga tahun lagi. Jadi dalam dua tahun ini kami harus betul-betul efisien, dan menyelesaikan semua proyek tepat waktu. Karena jika terlambat, ada bunga tambahan yang harus dibayarkan,” kata Arief.
(gen)