Jakarta, CNN Indonesia -- Sinergi kebijakan pengendalian harga pangan antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian dinilai belum maksimal. Hal itu tercermin dari rata-rata kenaikan harga pangan sekitar 5 persen per tahun dalam beberapa tahun terakhir.
"Tidak ada instrumen untuk mengendalikan harga bahan pokok. Kalaupun ada tidak kuat. Perum Bulog itu seperti pasukan tempur tapi dengan amunisi yang tidak memadai,” ujar Pengamat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori dalam diskusi pangan di Cikini, Senin (8/6).
Untuk itu, lanjut Khudori, pembentukan Lembaga Pangan sifatnya mendesak untuk segera direalisasikan oleh Pemerintahan Joko Widodo di tengah tren kenaikan harga pangan yang semakin tak terbendung menjelang puasa. Terlebih, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan pembentukan lembaga tersebut sebelum Oktober 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kalau lembaga ini ada, harapannya pemerintah bisa mengendalikan harga. Setahu saya deadline pembentukannya pada Oktober tahun ini,” jelasnya.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengakui diperlukan penyusunan instrumen hukum berupa Peraturan Presiden untuk mengendalikan harga pangan. Payung hukum ini diharapkan bisa mencakup kebijakan seluruh pemangku kepentingan agar tidak selalu menjadikan impor sebagai solusi instan menjaga ketahanan pangan.
“Kita tahu selama ini pemenuhan bahan pokok banyak menggunakan impor. Makanya saya tanya Menteri Pertanian, bisa tidak dipenuhi swasembada ini? Saya di Kementerian Perdagangan akan bertugas mengendalikan impor,” jelasnya.
Gobel menyatakan, jika hanya sekadar mengamankan pasar, pihaknya bisa membuka keran impor. Namun, di satu sisi Kemendag juga harus memikirkan neraca dagang.
“Makanya saat ini saya baru melihat opsi lain dengan mengendalikan spekulan. Contohnya kemarin harga gabah anjlok tapi harga beras naik. Saya yakin ada spekulan yang bermain. Kalau ada instrumen dan lembaga pangan, hal itu bakal mudah diberantas,” jelasnya.
(ags/gen)