Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan pemerintah memperluas objek pungutan dana pendukung kelapa sawit dari tadinya hanya minyak kelapa sawit (CPO) dan olein menjadi seluruh produk turunannya dinilai hanya akan menguntungkan Malaysia. Negara tetangga yang juga berebut pangsa penjualan CPO dan produk turunannya di pasar internasional dipercaya akan semakin dominan di bisnis tersebut, sementara pengusaha Indonesia akan semakin merana.
Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) mengaku terkejut saat mendengar keputusan rapat gabungan tim tarif pada Rabu (10/6) yang juga akan mengenakan pungutan kepada ekspor produk biofuel sebesar 20 persen per ton. Pasalnya tidak ada wacana sebelumnya pungutan CPO Fund dan bea keluar untuk biodiesel.
Menurutnya, kebijakan pungutan ekspor biodiesel kian memperburuk bisnis biodiesel industri dalam negeri. Lantaran, penyerapan biodiesel bersubsidi (Public Service Obligation) domestik tidak ada sama sekali dari Februari sampai Juni 2015 ini. Di sisi lain, ekspor biodiesel juga menghadapi hambatan perdagangan (trade barrier) seperti tuduhan dumping dari Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi sekarang kita sulit untuk masuk Eropa akibat tuduhan subsidi. Walaupun belum terbukti mereka lalu membuat tuduhan dumping duty dengan besaran berbeda-beda. Adanya pungutan biodiesel menjadikan negara tetangga menguasai pasar biodiesel global, sedangkan Indonesia sebagai penonton," kata Paulus di Jakarta, Sabtu (13/6).
Paulus menilai keputusan pemerintah untuk mengenakan juga pungutan ekspor biodiesel tidak adil serta memberatkan pelaku usaha.
"Ibaratnya, kami ini sudah jatuh tertimpa tangga. Pelaku industri minta pemerintah supaya pungutan ini ditiadakan. Kami ini sudah berdarah-darah," tambahnya.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menambahkan dengan diterapkannya perluasan pungutan ini akan membuat sia-sia investasi di sektor hilir sawit sebesar US$ 2,7 miliar yang ditanamkan pada 2012. Lantaran, produk turunan sawit sulit bersaing dengan negara kompetitor seperti Malaysia.
"Dalam hal ini, Malaysia akan diuntungkan dengan kebijakan pungutan ini. Sementara industri sawit dalam negeri bisa mati ," kata Sahat.
Untuk itu, ia meminta supaya kebijakan pungutan CPO Fund produk turunan sawit tidak mengorbankan program hilirisasi. Menurut Sahat, dalam kondisi harga dan permintaan yang sedang lesu seperti saat ini, pemerintah seharusnya membuat regulasi yang dapat mendorong dan mempercepat volume ekspor. Apalagi, Kementerian Perdagangan telah menargetkan pertumbuhan ekspor 300 persen dalam lima tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Sahat Sinaga menyebutkan investor tidak akan lagi percaya kepada pemerintah apabila penetapan tarif ekspor produk hilir tetap diberlakukan.
"Pelaku industri hilir mengharapkan besaran pungutan dana perkebunan serta bea keluar dapat disesuaikan dengan besar kecilnya nilai tambah di masing-masing produk ekspor," kata Sahat.