Jakarta, CNN Indonesia -- Para pengusaha industri hilir kelapa sawit nasional memprotes hasil keputusan rapat tim tarif pemerintah yang memperluas objek pungutan dana perkebunan kelapa sawit (CPO fund).
Sedianya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit hanya berlaku sebesar US$ 50 per ton untuk ekspor CPO dan US$ 30 per ton untuk produk turunan Olein.
Namun kenyataannya, pada Rabu (10/6) lalu tim tarif yang berasal dari perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerin Perindustrian, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyampaikan hal yang berbeda kepada perwakilan asosiasi industri yang terdampak kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang turut hadir dalam pertemuan mencatat bukan hanya CPO dan olein saja yang menjadi objek pungutan CPO fund.
Mengutip informasi yang disampaikan tim tarif pemerintah, menurut Sahat CPO fund juga akan dikumpulkan sebesar US$ 20 per ton dari ekspor produk turunan Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Olein (RBD PKOL), RBD Palm Kernel Stearin (PKS), dan RBD Olein kemasan serta bermerek.
Tidak berhenti sampai disitu, wajib setor CPO fund juga berlaku sebesar US$ 30 per ton untuk eksportir produk Splitt Fatty Acid dari Crude Oils.
"Awalnya asosiasi mendukung kebijakan CPO fund yang hanya memberlakukan pungutan ekspor sebesar US$ 50 per ton kepada CPO dan US$ 30 per ton untuk olein. Dengan keputusan tim tarif sekarang yang mengenakan pungutan bagi semua produk hilir sawit, kami mengajukan protes karena hal itu akan menekan daya saing ekspor sawit," ujar Sahat di Jakarta, Sabtu (13/6).
Jika pemerintah benar-benar menerapkan perluasan objek CPO fund, Sahat menyebut produk hulu sampai hilir kelapa sawit nasional akan kalah bersaing dengan produk Malaysia dari sisi harga.
Semakin tinggi harga jual yang harus dibebankan ke pembeli akibat biaya tambahan CPO fund itu, disebut Sahat hanya membuat produk Indonesia dijauhi pembeli. Terlebih harga CPO saat ini sedang rendah, dan membuat posisi pembeli sangat kuat untuk memilih pasokan CPO dari negara-negara produsennya.
“Sebenarnya, kami berharap tim tarif bisa berkomunikasi dengan asosiasi. Namun yang terjadi, keputusan CPO fund serta bea keluar langsung diputuskan begitu saja,” jelas Sahat.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel memastikan pemberlakuan wajib setor CPO fund tidak akan memberatkan pengusaha. Sebab menurut Rahmat, sebelum pemerintah memberlakukannya telah dilakukan sosialisasi lebih dulu dengan pengusaha.
“Tidak memberatkan lah. Sebelum aturannya keluar kan sudah dilakukan sosialisasi dan sudah diketahui dan disetujui pengusaha. Jadi mereka sudah tahu hal itu,” kata Rahmat di kantor pusat PT PLN (Persero), Jakarta, Kamis (28/5) lalu.
Meskipun belum bisa menjelaskan perbedaan dari pungutan dan iuran yang tercantum dalam Perpres, namun Rahmat menjamin dana yang akan dikelola oleh Badan Pengelola Dana CPO itu akan dimanfaatkan seluruhnya untuk kepentingan industri kelapa sawit sendiri.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil memastikan pemerintah akan menetapkan Bayu Krisnamurthi sebagai Kepala Badan Pengelola Dana CPO Fund pada Senin (15/6). Mantan Wakil Menteri Perdagangan itu akan dibantu oleh empat deputi lain yang saat ini masih dalam proses seleksi untuk mengurus badan tersebut.
"Senin nanti kami paparkan lebih detail," ujar Sofyan di Jakarta, Jumat (12/6)
Sofyan menegaskan program CPO fund disusun untuk keberlanjutan pengembangan kelapa sawit. Menurut dia ada lebih dari 3,5 juta hektare kebun rakyat yang produktivitasnya sangat rendah karena usia tanaman yang sudah tua.
“Makanya dana itu kita gunakan untuk replanting. Kemudian sawit punya potensi pertumbuhan produksi yang besar. Kebun rakyat rata-rata cuma bisa menghasilkan 3-4 ton, sementara korporasi bisa mencapai 7-8 ton,” katanya.
Atas dasar hal tersebut, lanjut Sofyan, pemerintah perlu melakukan research development yang bagus. Ia mengatakan, nantinya dana itu juga akan dikucurkan untuk pelatihan petani dan sumber daya manusia di bidang perkebunan.
“Kalau kita bisa tingkatkan produktivitas petani sebanyak 50 persen, hal itu akan menaikkan produktivitas nasional hingga 30 persen,” ucapnya.