Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat ekonomi menilai kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam melonggarkan aturan loan to value (LTV) dengan memangkas uang muka (down payment/DP) untuk properti dan kendaraan bermotor guna mendorong pertumbuhan kredit dan ekonomi yang sedang melemah tidak memiliki efek signifikan pada sektor rumah tangga.
Aturan baru itu hanya dapat diterapkan untuk bank dengan rasio kredit macet (
non performing loan/NPL) kotor di bawah 5 persen. Sebagai catatan, per April 2015, kredit untuk properti tapak naik 12,9 persen secara tahunan, untuk apartemen 8,8 persen, untuk ruko 5,6 persen, dan untuk otomotif 16,4 persen secara tahunan.
Analis Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja mengatakan sejalan dengan sektor lain, pertumbuhan kredit sektor rumah tangga sudah turun sejak awal 2014 akibat aturan LTV yang lebih ketat dan penurunan harga komoditas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Meskipun relaksasi itu dapat membantu penjualan properti, kami di Mandiri Sekuritas memprediksi tidak ada kenaikan signifikan pada kredit rumah tangga karena lemahnya harga komoditas secara berkepanjangan, terutama di daerah yang kaya hasil bumi seperti Kalimantan dan Sumatera,” ujarnya dalam riset, Kamis (25/6).
Seperti diketahui, kebijakan tersebut tertuang dalam PBI No.17/10/PBI/2015 tentang Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, yang berlaku sejak tanggal 18 Juni 2015.
Pendekatan makro prudensial itu diharapkan dapat meningkatkan penjualan rumah dan kendaraan dengan menurunkan uang muka untuk kredit properti dan kendaraan bermotor yang disalurkan bank umum dan syariah. Penurunan uang muka secara rerata tercatat 10 persen untuk properti dan 5 persen untuk kendaraan bermotor.
Selain pelonggaran rasio LTV/FTV dan uang muka, pelonggaran juga dilakukan terhadap jaminan yang diserahkan pengembang kepada bank dalam pemberian kredit atau pembiayaan properti melalui mekanisme inden.
Jaminan tersebut dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit dan atau dana yang dititipkan dan atau disimpan dalam escrow account di bank pemberi kredit atau pembiayaan.
Nilai jaminan yang diberikan setidaknya sebesar selisih antara komitmen kredit/ pembiayaan dengan pencairan kredit atau pembiayaan yang telah dilakukan oleh bank. Sementara itu, jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk corporate guarantee, stand by letter of credit atau bank guarantee.
Berdasarkan data BI per April 2015, perbankan mengalami perlambatan pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang diikuti dengan kenaikan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
Menurut catatan BI, pertumbuhan kredit per April 2015 hanya tumbuh 10,4 persen menurun dari pertumbuhan kredit 11,3 persen per Maret 2015.
Kemudian, DPK tumbuh 14,2 persen per April 2015, dari pertumbuhan 16,0 persen per Maret 2015. Serta, NPL netto naik 0,1 persen menjadi 2,5 persen per April 2015, dari posisi 2,4 persen per Maret 2015.
(gir/gir)